Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GUMBANG, BEMPA DAN BUSU, Wadah air masyarakat Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja


GUMBANG, BEMPA DAN BUSU,
Wadah air masyarakat Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja


Anda Orang Bugis – Makassar – Mandar – Toraja (BMMT) ?. Dengan apa anda menyimpan persedian air dirumah anda ?. Dengan bak dari dari batu-bata berlapis keramik, dari bak plastik atau dengan ember plastik ?. Dengan baskom dari karet ban bekas mungkin ?. Lalu masih ingatkah anda dengan barang-barang berikut ?. Gumbang, Bempa dan Busu ?.

Mungkin tak banyak lagi diantara kita yang ingat dengan barang ini ?. Padahal itu belum ditambah dengan barang lainnya seperti Kaddaro Bila, Tarompong, Bira’ Awoo. Barang-barang tersebut adalah nama Bugis (maaf saya tidak tahu persis bahasa Makassar, Manda dan Toraja-nya) untuk wadah air, wadah menampung persedian air dalam rumah tangga masyarakat BMMT. Mungkin kita hanya familiar dengan kata Tempayang, kata dalam Bahasa Indonesianya. Masing-masing barang diciptakan dari bahan, ukuran, bentuk yang relatif berbeda, termasuk kegunaan masing-masing.

Gumbang dibuat dari bahan Batu Padas (Bugis : Batu Bulu) atau batuan sungai / kali (Bugis : Batu Salo), melalui proses pemahatan yang memakan waktu dan tenaga. Bukan hanya saat membuatnya, untuk menemukan bahan bakunya saja butuh waktu dan tenaga. Jika menggunakan bahan batu padas, maka para pallangro batu (perajin/pemahat batu) akan mencarinya dipunggung-punggung bukit, tak jarang juga harus menggali terlebih dahulu. Tempat penggalian ini, selanjutnya disebut Abbatung (Tambang Batu). Jika dengan batu kali, maka biasanya tidak dipotong lagi berbentuk kotak. Tapi utuh, langsung diangkat. Batu terpilih tadi selanjutnya dipotong sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Rata-rata berukuran 100 Cm x 80 Cm. Kotak batu ini selanjutnya dipikul oleh beberapa orang menuju tempat para perajin pahat batu. Setelah melewati proses pemahatan yang rumit dan sarat filosofi dan kaidah khusus, jadilah sebuah Gumbang berbentuk tabung dengan tinggi sekitar 80 Cm daeng diameter sekitar 60 Cm pada bagian bawah dan 50 Cm pada mulut gumbang tadi.

Angka-angka tadi memiliki makna filosofis, 80 dengan angka pokok 8 dalam bahasa Bugis disebut Aruwa. Sebuah kata yang memiliki kesamaan bunyi dengan kata Ruwaa (Ramai). Angka 6 pada angka 60, berfilosofi dengan kata Manenneng (Sedih), sementara angka 5 pada angka 50 berfilosofi dengan kata Lima (Tangan). Secara utuh, dalam filosifi ini terangkum dalam bahasa Bugis yang berbunyi. “ Ruwa-ruwasi lise gumbangmu, anengnengko narekko dee maratte limai lise’na. Penuhilah Gumbang-mu dengan air, bersedihlah jika tanganmu tak lagi mampu menggapai permukaan airnya. “.

Dalam kesehariannya, gumbang ini dipakai untuk menampung air yang akan digunakan untuk keperluan Mandi, Cuci dan Kakus. Ingat, rumah panggung di BMMT pasti memiliki atteme-temeng biasa juga disebut appica’-picakeng. Saat anda melakukan kegiatan MCK tadi, anda pasti dan harus melakukannya dengan posisi jongkok disamping gumbang tadi. Runyamnya, saat persediaan air dalam gumbang tadi menipis dan tangan anda (dengan bantuan gayung), tak mampu lagi menimba airnya. Tentu ada harus berdiri atau setengah berdiri untuk mengambil air. Disaat inilah anda harus merasa manenneng, sebagaimana termaktub dalam filosifi diatas. Pantang dan menjadi aib jika air dalam gumbang anda hanya tersisa setengahnya. Terlebih saat ada orang yang bertandang dirumah atau numpang buang air dirumah anda. Mau ?.

Disebut gumbang karena bentuknya yang menggembung pada bagian pertunya. Ibarat perut manusia yang buncit begitulah rupa badan gumbang ini. Perut buncit dalam bahasa Bugis adalah Maggumbang Babuana. Jadi buncit sama dengan gumbang


Bempa dan Busu
Untuk menyimpan air sebagai bahan baku memasak, masyarakat BMMT menggunakan Bempa. Sedangkan untuk menyimpan air minum yang telah direbus, dipergunakanlah Busu. Meski ada yang terbuat dari bahan batu padas atau batu kali, kebanyak Bempa dan Busu berupah hasil kerajinan tangan berbahan tanah liat.

Meski memiliki ukuran yang sama dengan Gumbang. Bempa dapat dikenali dari bentuknya yang lebih langsing, tapi tidak merit. Silinder serupa tabung dengan mulut lebih kecil. Sementara Busu, ukurannya jauh lebih kecil, tak lebih dari tellu jakka x tellu jakka (Jangka) tangan dewasa. Bentuk serupa dengan Gumbang, dengan perut buncitnya.
Jika bertamu kerumah karib kerabat, saya dapat membedakan mana air yang berasal dari Busu atau berasal dari wadah ember apalagi dari galon. Air minum dari busu akan terasa segar dengan hawa dingin yang unik. Berbeda dengan rasa dingin dari lemari pendingin. Anda bisa merasakan juga ?. Jika tidak, kacian deh lu !.

Pernahkah anda disuguhi air minum berwarna semburat merah, tapi tak menyertakan rasa manis ataupun pahit. Inilah yang disebut wai seppang, sesungguhnya ia adalah air minum biasa yang dipewarna, hasil dari penguraian warna alami yang terkadung dalam aju seppang (Kayu Secang / Latin : Sappan lignum). Cara membuatnya mudah, serpihan-serpihan aju seppang cukup dimasukkan dalam busu, biarkan ia disana sepanjang waktu. Kandungan warna alami pada sekerat aju seppang seberat 1 ons, akan mampu mewarnai 10 liter air minum. Bila anda sedang di kota Yogyakarta atau Solo, carilah minuman Wedang Uwuh, didalamnya ada aroma dan warna aju seppang tadi.

Si Labu Pahit
Satu pertanyaan lagi, jika anda berasal dari suku BMMT dan beragama Islam. Mungkin anda masih ingat kala belajar mengaji dulu, sekarang sih tergantikan dengan metode Iqra. Berbekal Sarung, Pecis bagi cowok dan kerudung bagi cewek. Saat sore menjelang, anak-anak BMMT (5 – 12 Tahun) rutin mendatangi rumah Guru mengajinya. Pasca belajar mengaji, sebagai bentuk Taqzim pada sang Guru, anak-anak mengaji ini biasanya berbondong-bondong kesumber air untuk mengambil air untuk mengisi bak air dirumah sang guru, atau bak air di Surau kampung. Bak air diisi penuh untuk persedian air wudhu jamaah Shalat Magrib nanti.

Jika anda masih ingat dengan tradisi tersebut. Mungkin juga anda masih ingat dengan wadah untuk membawa air tersebut yang terbuat dari Kaddaro Bila (Pohon Maja / Latin : Aegle marmelo). Atau yang terbuat dari Buah Lawo Pai’ (Labu Pahit/Latin : ), di Tanah Bugis disebut Tarompang. Masih adalagi Bira’ Awo, wadah yang dari bambu.

Kaddaro Bila. Membuat kaddaro bila sangatlah sulit dan memakan waktu setidaknya 1 Bulan. Dimulai dengan memilih buah maja yang sudah tua, dengan batok yang keras dan mengeluar bunyi nyaring bila diketuk. Buah maja selanjut diberi 4 lubang pada bagian atas. Dua lubang berdiameter 3-4 Cm dibuat sejajar. Lubang sebagai lubang saluran memasukkan air, satu lubang lagi untuk jalur keluarnya udara, yang tertekan akibat tekanan massa air yang masuk. Dua lubang lainnya dengan diameter 0,5 cm dibuat berjajar pula tepat diatas 2 lubang besar tadi. Berfungsi sebagai lubang untuk memasukkan tali pengait bagi wadah air ini ketika dijinjing atau dipikul. Ingat, lubang ini harus dibuat tepat ditengah dan presisi. Jika tidak, dipastikan air anda akan terbuang akibat guncangan saat dijinjing atau dipikul.

Setelah lubang dibuat, selanjut isi dari buah maja tadi dikeluarkan semua dengan cara dikerok, lalu dibersihkan. Batok buah maja tadi, kemudian di keringkan, bukan dijemur dibawah terik matahari. Agar lebih awet dan tidak gampang pecah. Setelah kering, sebelum digunakan batok tadi dipendam dilumpur sawah, setidaknya 5 – 7 hari.

TAROMPONG & BIRA AWO. Membuat tarompong sama persih dengan cara membuat kaddaro bila tadi. Termasuk cara lubang dan cara pengawetannya. Dari segi fisik, kaddaro bila berbentuk bulat mirip bola kaki. Sementara Tarompong, berbentuk lonjong cenderung oval, mirip buah Jambu Bol. Sementara untuk membuat bira awo, sangatlah mudah. Pilihlah bambu yang sudah tua, diamater besar dan ruang yang panjang. Sebaiknya pilihlah bambu dari jenis Bambu Petung.

Bagaimana, sudah ingat. Atau generasi anda sudah tidak pernah melihatnya lagi. Kemungkinan yang kedua kayaknya lebih besar. Saya pun hanya mendapatkan sisa-sisa kejayaannya saja. Saat sekolah SD hingga SMEA dulu saya sudah menggunakan ember plastik atau ember bekas wadah cat tembok. Sebelum saya akhiri, satu pertanyaan lagi. Sungguh ini yang terakhir !.

Ingatkah anda dengan benda ini. Cangkiri, Mo’, Cantek, Kaca, Kaca Inungeng, Kaca Toling, Kaca Dadi, dan Cerek. Oh ya, ada yang tahu bahasa Bugisnya Teko, tolong beritahu aku juga yah.

Post a Comment for "GUMBANG, BEMPA DAN BUSU, Wadah air masyarakat Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja"