Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KAMI ADALAH PEMULUNG


KAMI ADALAH PEMULUNG
Oleh : Suryadin Laoddang


Sobat!, sudahkah engkau kencing hari. Kalau sudah, bersyukurlah. Eh, tahukah engkau sobat, ternyata air kencing kita itu berharga.Yah! Yaaaaa, air kencing sobat, yang pesing, yang kuning pekat itu. Iyya! Air kencing kita sobat. Ternyata lauh lebih berharga dibanding benda cagar budaya. Air kencing yang beraroam jengkol itu.Ternyata jauh lebih berharga, dibanding sederet koleksi peralatan berburu jaman Palaeolithikum, jaman batu tua.  Air kencing kita, lebih berharga dibanding  seonggok tulang manusia purba, Pithecanthropus eructus.

Air kencing kita, yang beraroma petai itu, ternyata lebih berharga dibanding benda cagar budaya! Dibanyak tempat untuk sekedar buang air kecil kita harus membayar Rp. 1.000,-, sementara tiket masuk disebuah meseum hanya Rp. 750,-. Ironis bukan ?, penulis yakin Anda tersenyum geli sekarang. Bukan tidak mungkin Anda dan saya sendiri adalah pengusung ironisme tersebut. Pertanyaannya sekarang, sudah berapa kalikah Anda  berkunjung ke Museum seumur hidup anda? Dua kali, tiga kali atau banyak kali?, ayo jujurlah sobat. Jangan-jangan hanya sekali, berombongan ke museum karena kewajiban, takut pada guru pengampu mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Itupun masih disertai surat permohonan potongan harga tiket museum. Lalu kenapa anda tidak membawa pula surat permohonan potongan harga saat buang air kecil.

Itulah nasib museum di Indonesia. Tak punya harga, tak punya nilai. Bahkan WC umumpun lebih terhormat darinya. Museum di Indonesia, tak lebih dari sekedar gudang, tempat menyimpang barang yang sudah tak berguna lagi. Tempat menumpuk cerita masa lalu, tanpa tempelan makna dan nilai. Inilah nasib museum Indonesia, sepi pengungjung, dikelola seadanya dengan pengelola yang hanya tahu menyusun anggaran buat pengecatan tembok museum. Sistem pengamanan sangat minim, koleksinya  banyak hilang, banyak yang diganti dengan replika murahan berbalut konspirasi besar demi nilai rupiah.

Sobat, malam itu ditengah dingin udara Kaliurang. Hadir bersama kami Budayawan “Gila Museum” KRT. Thomas Haryonagaro, juga budayawan akademisi DR. Daud Aris Tanudirjo. Mereka, sempurna memaksa kami merenung. Merenungi kebodohan kami, kebodohan anak bangsa yang tak mampu berbuat banyak untuk peninggalan leluhur kami. Membongkar paradigma pelestarian budaya kami yang picik, yang masih asik dan terjebak pada penyelamatan bentuk fisik sebuah cagar budaya. Tak pernah berpikir dan berupanya melestarikan nilai dan makna yang terkandung didalamnya. Lihatlah, betapa bangganya kita memasang pendopo Yogyakarta di halaman rumah kita. Tapi tidak pernah paham bagaimana leluhur kita menghitung dan mengarahkan sirkulasi udara dan cahaya kedalam pendopo itu. Sungguh hebat mereka berdua, sukses membongkar lapisan kesadaran kami akan nasib kelestarian cagar budaya negeri kami, Indonesia.

Indonesia, negeri yang konon gemah ripah loh jinawi, terhampar bak Jamrud Khatulistiwa, Ratna Mutu Manikam. Ternyata tak lebih dari sekedar bangsa romantisme, rakyatnya dan pamongnya hanya bisa kagum dan bercerita haru biru tentang kejayaan masa leluhurnya. Sabang hari membanggakan diri, menepuk dada sebagai keturunan bangsawan ini dan bangsawan itu. Tidakkah mereka sadar, kalau yang bangsawan itu adalah leluhurnya, dan dia sendiri tak lebih dari seorang bangsatwan. Bangsawan, adalah orang yang rela berkorban demi kepentingan bangsa. Kepentingan bangsa adalah diatas segala kepentingan. Entah itu kepentingan suku, etnis, partai politik, keluarga bahkan diri sendiri. Sementara yang terjadi sekarang, kita semua lebih mengedepankan kepentingan diri sendiri, diri kita yang bangsat ini.

Sobat mari buka mata kita sejenak. Lihatlah, lihatlah di Bumi Laskar Pelangi sana. Bioskop Banteng di Pangkalpinang, Bangka-Belitung. Bioskop tertua di Indonesia. Bioskp yang berdiri tahun 1917 itu, kini rata dengan tanah karena, ditempat yang sama akan dibangun Pusat Perbelanjaan. Lihatlah pula Gedung eks Kodim Salatiga, Benteng Sombaopu dan Benteng Fort Roterdam Makassar adalah sederet cagar budaya yang juga dirusak demi kepentangan ekonomi, neo kapitalisme. Benda cagar budaya, bukti keluruhan ilmu, keterampilan dan konstruksi leluhur kita dijadikan bahan tawar menawar politik antara pengusaha dengan calon kepala daerah. Pengusaha berani mengeluarkan modal, mendanai kampanye sang calon dengan imbalan sebidang tanah dipusat kota yang diatasnya berdiri bangunan cagar budaya.
Sungguh, sungguh sakit sobat. Sakit hatiku melihat museum di Indonesia. Tak hanya digrogoti tikus-tikus nakal, tapi juga digerogoti maling-maling berparas kingclong, berdasi, berdompet tebal. Koleksi-koleksi terbaik museum dirampasnya, dijual kerumah tetangga. Secuil hasilnya dipakai untuk membuat replika barang yang dirampasnya. Replika dikembalikan kebalik etalase kaca museum. Sisanya, ada yang dikantongi, adapula yang jadi upeti untuk sang hulubalang, yang mau jago jadi bupati. Lihatlah sobat!, lihat !!!. Sungguh rancak banar mereka bermain. Mereka adalah maling-maling terhormat.

Sobat, hai sobatku. Sudah berapakali engkau kencing hari ini? Semoga kencingmu lancar, tak terhambat, mulus meluncur. Semulus lantai marmer eksotik museum-museum di Negeri Tirai Bambu. Negeri dengan 5000 lebih meseum, semuanya terawat dan ramai pengunjung. Berbeda dengan di Indonesia, yang tak lebih dari 200 meseum. Berdiri gontai dengan kondisi hidup segang matipun tak mau. Disana, biaya masuk Museum mencapai Rp. 170.000,- per kepala. Di Indonesia paling mahal Rp. 3.000,-, itupun masih ditawar dengan model potongan harga untuk rombongan, dan gratis bagi anak kecil dibawah 6 tahun. Akh, sungguh toleran negaraku ini.

Sobat! Disini, di jembatan kecil ini. Depan museum benteng Vredeburg Yogyakarta, mata liar kami menangkap sosok belia bertampang klimis, asik berdiri atas pos pengintai benteng itu. Sepintas ia melamat, mengawasi dan mengintai pergerakan para demonstran “May Day” didapan Istana Negara Gedung Agung, ujung selatan Malioboro. Tahukah engkau sobat, tenyata pria itu asyik mengucurkan air kencingnya disitu. Kurang Ajar!.

Hari ini sobat, Ahad 1 Mei 2011, kami para relawan Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya) Indonesia. Menyatukan tekad, akan menjadi pemulung. Memulung setiap remah-remah warisan budaya leluhur kita. Untuk kami tunjukkan padamu sobat, juga kami wariskan pada anak cucu kami kami. Bagi kami, remah-remah itu akan mendatangkan keuntungan. Keuntungan bagi kami, bagimu sobat, bagi bangsa dan anak cucu kita. Agar keuntungannya terus mengalir, maka kami wajib melestarikannya. Jika engkau tak mau bersama kami, cukuplah kami yang jadi pemulung.

Untuk yang terakhir kalinya sobat, engkau kutawari. Semoga kali ini engkau berkenan. Jika sudah lelah berbelanja di Maliobor, mampirlah sejenak melepas lelah disini, di museum ini. Are You Bored for Shoping, come and let’s relax at Museum”. Semoga bahasa Inggris-ku tidak salah sobat. Aku pamit, aku mau kencing dulu.

Catatan ;
Photo 1, sumber : tutinonka.wordpress.com


1 comment for "KAMI ADALAH PEMULUNG"

  1. Pak, Bagai mana cara untuk menjadi Anggota MADYA.. Thx
    saya berharap banyak untuk perawatan dan pengembangan BUDAYA...

    ReplyDelete