Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

100 JUTA, INSPIRASI DARI BUKU "MATA AIR 100 JUTA"


100 JUTA
(inspirasi dari buku “Mata Air 100 Juta”)

Ahad, 10 Juli 2011. Tepat saat Adzan Ashar berkumandang, keasikanku membaca terusik. Bukan karena suara Adzan itu (he he, artinya?), tapi karena teriakan jagoanku, Rafi. Ia terus mencariku setibanya bersama Bunda dan Tantenya. Pulang dari berbelanja bahan untuk busana-busana yang mereka rancang. Busana yang akan dijajakan selama bulan Ramadhan nanti, busana rancangan yang akan disemati label “Taraala”, rumah busana kami yang baru berdiri sebulan lalu.

Saat menulis notes ini pun, Rafi tetap disampingku membolak-balik lembaran buku “Mata Air 100 Juta”, mencari gambar mungkin. Mencari gambar menarik pada buku yang hampir saja kutamatkan beberapa jenak yang lalu. Jujur, sedari awal tak ada yang menarik dari buku itu bagiku. Banyaknya jenis huruf (Font) pada halaman sampulnya membuatku ilfill. Dalam dunia desain grafis, ada sebuah cabang ilmu yang disebut tipografi, ilmu yang mempelajari psikologi huruf. Inti ajarannya adalah, jangan sekali-kali menampilkan berbagai jenis huruf dalam satu media. Hanya akan membiaskan fokus mata yang melihat atau membacanya.

Lalu kenapa saya memiliki buku ini? Ceritanya sangat panjang, butuh setidaknya dua orang perantara hingga buku itu tiba ditanganku. Singkatnya, lewat notes Asri Arsyad di Facebook saya tertarik membaca buku ini. Buku ini telah dibaca dan diulas seorang sahabat yang sepengetahuanku juga gila membaca. Lebih gila dariku, itu faktor pertama. Faktor kedua, konon latar cerita dalam buku ini adalah Sulawesi Selatan, Jogja dan Mesir. Daerah-daerah yang sangat akrab denganku, setidaknya daerah pertama dan kedua. Maka tak ada salahnya jika kumemiliki buku ini. Setidaknya menambah koleksi literaturku tentang Sulawesi Selatan. Maka kupesanlah buku ini lewat Asri Arsyad. Dasar rejeki, Asri Arsyad tak berkenan menerima lembaran Rupiahku untuk buku tersebut. Hadiah buatku katanya, entah hadiah atas apa?

Buku bunga rampai karya Mayyadah ini adalah kumpulan tulisan seorang santri, seorang istri, seorang ibu, seorang penulis. Seorang adik (kadar usia) dan seorang senior (sebagai penulis) yang diam-diam kukagumi lewat tutur qalamnya. Ia begitu lihai dan cerdas memilih tiap lema dalam kalimatnya. Kalimat-kalimatnya pendek, tak membuat kita ngos-ngosan membacanya. Jauh dari dekapan lema-lema ilmiah populer, lema-lema yang banyak digandrungi banyak penulis muda yang ingin tampil sok ilmiah, tapi dangkal makna. Dalam karya Mayyadah ini, hanya kata “hibernasi” pada halaman 46 yang dapat dikategorikan bahasa ilmiah populer. Lainnya InsyaAllah tidak.  Semoga saya betul-betul jeli mengamatinya.

Don’t judge the book from the cover, terbukti lewat buku ini. Setelah mengagumi gaya bertutur sang penulis. Saat membaca “ayahku seorang anre gurutta”, akhirnya kujatuh hati pada cerita-cerita pada buku ini. Kata Anre Gurutta mengingatkanku tokoh-tokoh penyiar Islam dan berpengaruh di Sul-Sel yang kesemuanya menyandang gelar Anre Gurutta. Sebuah gelar non formal yang tak gampang diraih. Berbeda dengan saat ini, anda cukup naik haji satu kali, sekolah formal dengan titel minimal sarjana strata satu, dan mengisi pengajian kuliah tujuh menit, maka anda akan mendapatkan gelar Anre Gurutta.

Pun ketika membaca cerita tentang danau dadakan di hamparan sawah, tentang jatuh cinta jaman Sekolah Dasar, melamar dengan jurus “kandang passa”, atau tentang haru birunya menjadi ayah dan ibu baru. Saya tersenyum-senyum sendiri membacanya, kok mirip dengan kisahku yah? Bedanya, Maya telah menulisnya dan saya tidak menulisnya. Satu cerita lagi yang kuamini faktanya, adalah “kisah perjuangan istri penulis”. Meski tidak sepenuhnya serupa, setidaknya kisah Kang Udo dan Teh Ami juga menghampiri kehidupan rumah tanggaku. Berkali-kali diundang untuk berbagi pengalaman dengan sahabat diberbagai tempat dan perkumpulan adalah kesenanganku. Meski hanya diganjar selembar piagam atau plakat penghargaan, semua saya jalani dengan asyik.

Itung-itung berbagi ilmu pikirku, semoga bernilai ibadah, itulah ganjaran yang saya harapkan. Ganjaran yang tentunya diamini pula oleh orang-orang yang “senasib” dengan saya. Tak peduli lelah atau harus mengeluarkan ongkos transport sendiri, semua tetap kami jalani. Semoga berkadar ikhlas. Sayangnya, pengorbanan itu masih harus ditambah lagi dengan pengorbanan lainnya. Korban makan hati misalnya. Tidak hanya belasan kali, sudah pulahan kali saya harus menjadi kambing congek akibat ulah para empunya hajat. Saya sudah datang tepat waktu, eh yang punya acara malah tidak nongol hingga 120 menit berikutnya. Dikonfirmasi, katanya “maaf kak, baru bangun, ini sudah OTW, tunggu ya kak”. Gubrak! Beruntunglah saya yang masih mampu menafkahi keluarga dari pekerjaan lainnya, tak habis pikir bagaimana cara Kang Udo dan Teh Ami menjalani hidup semacam itu, dirantau pula.

Dari 21 judul tulisan yang ada, ada 2 tulisan yang sengaja tidak kubaca. Pertama, tulisan berjudul “cinta dalam tiga kantong darah”. Tulisan ini sudah pernah saya baca 2 bulan lalu. Tulisan ini disertakan dalam lomba menulis bertema kemanusiaan yang digagas oleh Komunitas Golongan Darah AB (Komunitas AB) bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Menulis Jogja (STMJ). Sebagai ketua dari Komunitas AB, sayapun didapuk sebagai ketua tim juri lomba menulis tersebut, jadi bukan karena kemampuan menulis saya. Cerita ini memang menarik dan asik, tanpa ragu ia kuganjar dengan nilai 75, kurang 25 poin lagi untuk nilai sempurna. Saya lupa, apakah ia jadi pemenang dalam lomba tersebut, tapi setidaknya ia telah masuk kategori 10 besar.

Tulisan kedua yang tidak kubaca adalah judul ke-21 dari buku ini. Tulisan yang judulnya menjadi judul dari buku ini, “mata air 100 juta”. Sengaja! Saya tidak ingin membacanya sekarang, saya tidak ingin mengakhiri nikmatnya membaca buku ini. Biarlah tulisan pada halaman-halaman terakhir itu membuatku penasaran, senantiasa mengajakku berulang kali membaca 19 judul sebelumnya. Ingin kucari dan kugamit jutaan laksa inspirasi dari buku buku segar ini. Kuyakin, tak 100 juta inspirasi yang ada dalam buku ini. Kelak, jika menginjakkan kaki di Pondok Pesantren DDI Mangkoso, barulah ia kubaca.

Catatan :
  • ·         Melamar dengan jurus kandang passa adalah model “kenekatan” seorang pria saat meminang calon istrinya. Butuh nyali kuat dan perbitungan matang untuk melakukannya. Ada banyak resiko dibalik jurus ini, tapi inilah sesejatinya pria. 

Post a Comment for "100 JUTA, INSPIRASI DARI BUKU "MATA AIR 100 JUTA""