Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BERANI MELAWAN PEROKOK



Saat menulis tulisan ini dalam otak saya, muncul keraguan. Rasa tidak enak atau mawewe dalam bahasa Bugisnya (Jawa : Pekewoh) muncul bersamaan. Saat tulisanan ini kusempurnakan dan kujadikan notes ke-100-ku, yakin dan percaya pasti banyak teman-teman faacebook yang kemudian “tersungging”. Wajar mereka merasa tidak nyaman, karena notes ini berisi ikhwal perlawanan saya sebagai perokok pasif. Perokok yang tak punya rokok tapi dipaksan “menikmati” racun rokok yang lebih mematikan dibanding dengan racun yang dihirup oleh perokok aktif itu sendiri. Semoga anda tidak! Tidak perokok aktif, tidak juga pasif dan lebih penting lagi tidak tersinggung dengan notes ini.

Perlawanan saya terhadap rokok bermula dari rumah sendiri, saat masih bujang. Kala itu, sedikitnya ada 11 orang kerabat yang ikut hidup serumah dengan saya, ada yang sudah bekerja ada juga yang masih kuliah. Karena saya adalah penguasa tunggal dirumah tersebut, dengan otoriternya saya bikin maklumat. Pertama, yang tinggal dirumah ini hanyalah mereka yang tidak merokok. Kedua, jika kedapatan merokok, silahkan keluar dari rumah ini. Kejam memang, tapi demikianlah adanya. Dari pengamatan saya, sesungguhnya banyak kerabat yang tersiksa dengan aturan ini. Maka tak jarang mereka kucing-kucingan untuk merokok, kala saya tak dirumah. Salah satu pelakunya akan saya tagg dalam notes ini.

Perlawanan kedua saya adalah dengan menempel tulisan satir didinding ruang tamu kami, “Maaf, kami belum mampu membeli ASBAK”. Cara ini terbukti efektif, banyak diantara kerabat dan kolega kami yang paham dan maklum jika kami tidak suka jika ada bau rokok dirumah kami. Terhadapa pepatah “tamu adalah raja”, dengan tegas saya katakan “bukankah sang raja itu datang ke gubuk kami dengan membawa rokok sendiri, bukan disediakan oleh pelayannya, jadi suruhlah sang raja mengantongi abu rokoknya dan menelan semua asap rokoknya, tidak usah berbagi dengan sang pelayan”. Meski demikian, tetap saja ada satu atau dua tamu yang kukuh, kokoh dan keukeh menyalakan rokoknya dirumah kami. Pelaku juga akan di tagg dalam notes ini.

Berikut adalah perlawanan saya yang terjadi secara beruntun. Kejadian ini terjadi saat mudik lebaran ke Jepara pada lebaran tahun ini. Pasca perjalanan panjang dengan bis berpendingin udara dari Jogja ke Semarang, berikutnya kami harus menumpang bis angkutan umum, bis mini tersebut adalah satu-satunya moda transportasi umum yang melayani rute Semarang – Jepara. Hebatnya meski terbilang mini tapi daya angkut penumpangnya serupa dengan bis besar yang kami tumpangi dari Yogyakarta tadi. Penumpang penuh sesak, beruntunglah kami sekeluarga yang masih mendapatkan tempat duduk, karena naik dari terminal. Bagi mereka yang naik di tengah perjalanan, harus rela berdiri.

Ditengah sesak dan panas hawa saat itu, tiba saya mencium bau asap rokok, hampir semua penumpang mengibaskan tangan didepan hidung mereka. Saya tidak tahu siapa perokok itu dan duduk dimana dia saat itu. Perkiraanku ia didekat pintu, sehingga asap rokoknya dengan leluasa terbawa angin memenuhi rongga udara dalam bis kecil ini. Entah dapat keberanian dari mana, lantang saya berteriak “woe sing ngudut pateni se’, sesek iki” (woe yang ngerokok matiin dulu, ini lagi sesek). Rafi, jagoanku yang tiga hari sebelum genap berumur tiga tahun juga lantang berteriak menirukanku “pateni”. Beberapa kejap kemudian, terdengar suara “sampun Mas, pun dipateni” (sudah Mas, sudah dimatikan). Suara seorang perempuan terdengar dari arah pintu.

Sayang, hanya berselang satu jam kemudian aroma rokok itu kembali tercium. Celingak-celinguk saya mencarinya, ternyata pelakunya tepat dua deret kursi didepan saya. Sang Sopir, yah pelakunya adalah sang sopir. Seraya berdiri, saya berujar “pak sopir, mbok ngebul-ngebulE mangke mawon” (pak sopir, nyalain rokoknya nanti aja). “Hooo kuiii”, terdengar suara koor penumpang lain mendukung dan membenarkan permintaan saya. Rupanya sang sopir tidak terima, sambil tetap mengendalikan laju bisnya ia terus mengoceh, tak jelas apa yang diocehkannya. Jelasnya diakhir ocehan tersebut, ia membuang rokoknya dari jendela kecil disampin kanannya.

Terakhir, di kampus tempat saya bekerja. Atasan saya meminta untuk mengawasi dan menegur mahasiswa yang merokok dalam kampus. Kerja amaliah, wajib kutunaikan dengan iringan doa "sami'na wa atha'na", saya dengar dan saya laksanakan. Semoga setelah menegur Mahasiswa, tak ada lagi dosen dan staff yang justru memberi tauladan, merekok di Kampus. Sebuah kampus kesehatan, yang sejatinya anti rokok. Memang betul merokok adalah hak asasi manusia, dan itu ditegaskan oleh Komite Nasional Pengendalian Tembakau, tapi adalah hak asasi kami juga yang tidak merokok untuk menghirup udara yang tidak beraroma rokok. Memang betul, rokok itu anda beli dengan uang anda sendiri, maka nikmatilah sepenuhnya, tak usah berbagi dengan kami. Termasuk abu dan asapnya.

Selamat menikmati.

Post a Comment for "BERANI MELAWAN PEROKOK"