Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

POS BUDAYA


Saya lupa kapan persisnya, kapan wacana pos budaya ini diperkenalkan padaku. Adalah Fadlie, seorang adik (tataran umur) yang berceloteh tentang itu dari ujung sinyal pengirim dari sebuah telepon gengam di Jakarta. Saya menerimanya tanpa konsentrasi di ujung sinyal penerima tepat di bawah jembatan Janti Yogyakarta, tepat saat saya tertahan laju kereta api yang melintas. Tak begitu banyak yang bisa saya tangkap dari pembicaraan tersebut. Selang berapa hari kemudian dua orang adik lainnya (Rani dan Wardah) juga mencoba menjadi penyambung lidah, memaparkan wacana Fadli. Sungguh kebetulan mereka juga akrab dan berkawan diskusi.

Rupanya tiga orang ini belum juga mampu membuatku paham dan tergugah. Bukan karena mereka tak mampu mengurainya, sayalah yang tak mampu mencernanya. Maklum otakku masih lulusan SMA, tak mampu mengimbangi wacana dan alur pikir adik-adikku yang sudah berotak S2 bahkan telah purna. Selang berapa bulan kemudia, wacana pos budaya kembali merelung dalam benakku. Kali ini yang memperkenalkannya adalah Cheng Parudjung. Seorang pegiat budaya Sulawesi Selatan di kota Ngalam, Malang. Sabtu, 28  April 2012 saya beruntung dipersandingkan dengannya sebagai narasumber dalam sesi dialog budaya Sul-Sel dalam acara Budayata’ yang dihelat oleh IKAMI Cab. Malang.

Jika saya asik berbicara ikhwal petuah-petuah leluhur Bugis terhadap para perantau. Adinda Ucheng lebih fasih bicara teori-teori pendekatan budaya yang diharapkan mampu meredam gejolak anarkisme, barbar dan fatalis ratusan oknum Mahasiswa dan Pemuda di Kota Makassar dan sekitarnya. Lagi-lagi, otak bebal dan tumpul saya tak mampu menangkap inti dari konsep pos budaya itu, padahal Ucheng sudah mengurai menjadi rangkaian lema yang berlembar-lembar dan sarat kajian ilmiah akademis. Saya harus belajar, belajar pada Ucheng, Fadli, Rani juga Wardah serta pada karib kerabat, handai taulan lainnya!

Saat dialog itu memasuki sesi dialog dengan warga Malang asal Sul-Sel, wacara dan langkah strategis pos budaya itu baru saya tangkap, dari pertanyaan dan penyataan yang ada saya akhirnya menemukan larik merahnya. Gamblang, terang, mudah saya cerna dan realistis untuk diwacanakan, dirumuskan bahkan saya yakin mudah untuk diwujudkan.

Diakhir sesi dialog, pada saat pernyataan penutup saya mengamini makalah dan pemaparan Ucheng. “Pos budaya sangat kita butuhkan dan memang ini bisa jadi satu solusi untuk meminimalisir efek anarkisme di Makassar”, tegasku saat itu.

Pertanyaannya, apakah pos budaya itu akan dibangun di Makassar? Siapa yang akan mendirikan dan mengelolanya?

POS Budaya Bukan untuk Makassar

Hemat saya, meski yang disasar adalah para saribattang or sempugi kita di Makassar tapi konsep pos budaya ini tidak tepat ada di Makassar. Banyak kepentingan dan infiltrasi yang berpotensi meluruhkan semangat dan nilainya. Bukankah benturan yang terjadi selama ini dikarena benturan kepentingan dan infiltrasi itu sendiri. Kepentingan yang saya maksud adalah tendesi suku, etnis, silsilah dan kelompok, asal daerah. Kelima hal inilah yang dengan mudah disulut untuk menjadi bara permusuhan di hamparan tanah Sul-Sel. (Saya jamin ini tidak akan terjadi di hamparan laut). 

Sementara infiltrasi yang saya maksud adalah dorongan kepentingan berbagai elemen baik itu politik, ekonomi, tirani mayoritas dan minoritas, tirani senioritas dan junior, bahkan media. Saya lebih memilih kata infiltrasi bukan tekanan. Infiltrasi lebih dekat pada makna terlibat aktif dalam memberi dorongan bahkan ikut terdorong, sementara tekanan bisa dilakukan dengan pasif atau memakai perpanjangan tangan.

Solusi yang layak ditawarkan dalam wacana pos budaya ini adalah, bangunlah pos-pos budaya itu di Malang, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Bandung, Bogor, Bali, Purwokerto, kota-kota yang menjadi magnet kawula terpelajar asal Sul-Sel untuk melanjutkan pendidikannya. Dengan label terpelajar dan jauh dari arena utama, maka mereka relatif lebih steril dari berbagai kepentingan dan bentuk infiltrasi apapun. Mereka lebih mudah dibuka wacana realistisnya, setidaknya mereka memahami bahwa Sultan Hasanuddin bukan penindas, Arung Palakka bukan pemberontak, Wajo bukan pengkhianat.

Yang diperlukan selanjutnya adalah sosok pegiat dan pemerhati budaya yang bijak, arif dan bestari. Ia bertugas memberikan mengenalkan budaya Sul-Sel itu pada anak-anak Sul-Sel sendiri, mengajarkan nilainya (bukan ritualnya), mengkaji kandungan norma dan kaidah didalamnya lalu menyajikan dan membaginya kepada mereka. Harapannya kelak, setelah mereka “diracuni” di pos budaya Malang, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Bandung, Bogor, Bali dan Purwokerto, ketika mereka pulang kampong mereka akan menularkan “virus” itu. Minimal pada anak istri atau keluarga dekat masing-masing.

15 tahun yang akan datang, yakinlah budaya anarkis ini akan hilang di Butta Sulawesi? Yakin? Yah saya yakin, makanya saya mau berbuat. Bagaimana dengan Anda?

Post a Comment for "POS BUDAYA"