Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ORANG BUGIS MEMBACA PENANGGALAN BULAN DENGAN KAIN SARUNG

Di Indonesia dan belahan dunia lainnya, awal dan akhir ramadhan selalu ramai dengan polemik terkait penentuan awal dan akhir ramadhan itu sendiri. Penyebabnya adalah metode yang dipakai untuk menemukan patokan awal dan akhir ramadhan tersebut. Ada yang berpegang pada kriteria rukyatul hilal, ada yang wujudul hilal, yang terbaru ada lagi kriteria visibilitas Hilal.

Terlepas dari kriteria manakah yang paling tepat, kali ini penulis akan berbagi ikhwal cara orang Bugis dalam membaca penanggalan bulan dengan bantuan kain sarung.

Sederhananya orang Bugis memandang bulan dari bumi, memperhatikan perubahan bentuk (fase perubahan) bulan dari hari ke hari. Secara umum ada tiga fase bentuk bulan yang dikenal oleh masyarakat Bugis yakni; mula mompona ulengnge (Arab: Hilal, Ingris: New Moon) sebagai fase awal munculnya bulan dengan bagian yang tampak dibumi sangatlah tipis, disusul dengan fase tefui ulengnge (Arab: Badru Qamil, Ingris: Full Moon) sebagai fase yang akrab disebut purnama, saat bulan terbentuk sempurna. Fase terakhir adalah fase labui ulengnge, bulan sudah menghilang dari pandangan mata telanjang manusia. Fase atau siklus bulan tergambar pada gambar diatas.

Agar pandangan mata orang Bugis yang melihat atau membaca penanggalan bulan tidak bias, maka dipakailah sarung sebagai alat bantu. Tidak semua orang Bugis bisa melakukan tehnik ini. Bukan karena persoalan mistis, karena tehnik ini memang tak bermuatan mistis sama sekali. Melainkan orang yang ingin melakukanya harus melalui proses latihan yang panjang, semakin sering berlatih semakin sempurna hasil pengamatannya.

Selapis kain sarung diambil lalu ditempelkan diwajah yang bersangkutan. Kain sarung direntangkan sekencang mungkin terutama di area mata. Kain sarung sebaiknya adalah kain berbahan sutera dan hasil tenunan bukan kain katun atau bahan benang lainnya dari keluaran pabrik atau hasil pabrikan. Hal ini merujuk pada tingkat kerapatan kain tenun sutera yang menyisakan rongga tipis yang memungkinkan untuk melihat bulan dari celah tersebut.

Setelah kain merapat di area mata, selanjutnya pandangan diarahkan ke bulan untuk menentukan usia dari bulan tersebut berdasarkan bentuk bulan saat itu. Agar tidak salah dalam melihat bentuk bulan, maka pengamatan harus fokus dan tidak terganggu dari bias cahaya alam seperti bintang maupun cahaya buatan seperti lampu atau api. Disinilah sarung tersebut kembali memainkan peran gandanya, kain sarung tenun tadi juga berfungsi sebagai penapis cahaya yang tak diinginkan, sehingga pandangan menjadi fokus pada bulan.

Bagi pemula, proses penanggalan diawali dengan mengenali lima fase utama dari bentuk bulan yakni pada tanggal 1, tanggal 7, tanggal 15, tanggal 22 dan tanggal 30. Tanggal 1 ditandai dengan awal muncul bulan dengan lapisan bercahaya yang sangat tipis, tanggal 7 ditandai dengan bulan yang bentuk separuh, tanggal 15 ditandai dengan bulan yang telah terbentuk sempurna (purnama), tanggal 22 bulan terbentuk sebagai kebalikan dari tanggal 7. Sementara tanggal 30 ditandai dengan bulan tidak tampak sama sekali. Bentuk bulan pada masing-masing fase ini harus dihafal oleh sang pemula.

Bagi mereka yang sudah tingkat lanjut selain patokan diatas, mereka juga (lebih banyak) menggunakan patokan pada tanggal 5, tanggal 10, tanggal 15, tanggal 20 dan tanggal 25 pada bulan tersebut. Patokan selang 5 hari inilah yang menjadi hari pasaran selang 5 hari (pasa lima-lima) dalam masyarakat Bugis. Lima hari pasaran tersebut adalah Massura (pasaran hari ke-5), Bisnong (pasaran hari ke-10), Barahamang (pasaran hari ke-15/purnama), Sirri (pasaran hari ke-20), Kala (pasaran hari ke-25). ­Pasaran pada hari pertama disebut pasa roa. Pasa roa jarang dipakai karena siklus bulan sendiri memakan waktu sekitar 29,530589 hari. Satu bulan menurut menurut penanggalan qomariah terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.

Tehnik penanggalan seperti ini sudah jarang dilakukan saat ini, mungkin pula sudah tidak ada yang mampu melakukannya. Selain karena dianggap kuno, tehnik ini sangat rawan tingkat keakuratannya. Selain faktor manusia yang kurang terlatih, faktor alam juga sangat berpengaruh. Saat ada awan atau saat mendung dan hujan tehnik tidak bisa dipakai. Terlebih bagi mereka yang tinggal didaerah pegunungan (kontur daerah dominan di tanah Bugis), mereka tidak akan mampu membaca awal bulan karena terhalang oleh bukit/gunung, melihat dan menentukan awal bulan sangat cocok bagi orang Bugis yang tinggal di daerah pesisir dan akan makin nampak jika sedang berada ditengah lautan lepas.

Kesimpulannya, tehnik Bugis ini tidak bisa dijadikan rujukan untuk menentukan awal dan akhir ramadhan tahun ini.

==============
Sumber : Imam Semar (Foto)

Terima kasihku untuk para tetuaku (Almarhum), masing-masing La Sabang, I Dawiyah, La Tabbulu, I Kasumang, I Sanabe dan La Fuasa. ayahku La Oddang dan ibuku Sennahati yang telah mengajarkan tehnik ini padaku saat kecil dulu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menyesal aku sudah acuh terhadap pelajaran ini.















3 comments for "ORANG BUGIS MEMBACA PENANGGALAN BULAN DENGAN KAIN SARUNG"

  1. waahh istilah-istilah pd patokan 5 hari dulunya sering sy dengar...hmm menyesal jg deh jadinya krn cuek dengan pelajaran ini..

    ReplyDelete
  2. Terima kasih untuk informasinya yang sangat bermanfaat daeng. Maaf kalau boleh tanya, apakah ada buku yang membahas tentang penanggalan bugis?

    ReplyDelete