Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Maaf, Saya Bukan Peneliti Budaya

Anggaplah tulisan ini sebagai klarifikasi, pembetulan tapi bukan pembelaan karena memang tidak ada yang perlu saya bela. Saya hanya ingin meluruskan suatu hal yang hadirkan kegelisahan bagi saya juga bagi orang-orang disekitar saya.

Muasal tulisan ini berasal dari sebuah poster publikasi sebuah acara berlabel Budayata’ II 2013 yang dihelat oleh sahabat-sahabat dan adik-adik saya di Malang – Jawa Timur. Dalam poster publikasi tersebut tertulis nama saya selaku narasumber dalam dialog budaya bertema “Warisan Budaya Bugis – Makassar”. Dibelakang nama saya tertulis sepenggal frase yang menjelaskan bahwa saya adalah seorang peneliti budaya. Frase itulah yang membuat saya gelisah, sematan gelar tersebut rasaya terlalu berlebihan bagi saya. 

Dalam kamus besar bahasa Indonesia diuraikan bahwa peneliti adalah setiap orang yang melakukan aktivitas menggunakan sistem tertentu dalam memperoleh pengetahuan atau individu yang melakukan sejumlah praktik-praktik dimana secara tradisional dapat dikaitkan dengan kegiatan pendidikan, pemikiran, atau filosofis. Secara khusus, istilah peneliti dikaitkan pada individu-individu yang melakukan penelitian (meneliti) dengan menggunakan metode ilmiah. Seorang peneliti, bisa jadi adalah seorang ahli pada satu bidang atau lebih dalam ilmu pengetahuan. Kriteria itulah yang saya belum memiliki. Hingga detik ini belum satupun penelitian yang telah saya kerjakan dan telah dipublikasikan secara ilmiah. Maka dengan tegas saya katakan, saya belum layak disemati sebutan sebagai peneliti budaya. Saya hanyalah seorang pegiat budaya yang mencoba memperkenalkan budaya Bugis – Makassar ke dalam lipatan-lipatan waktu masyarakat Indonesia bahkan dunia. 

Produk-produk budaya asli Bugis – Makassar berikut produk budaya yang berupa serapan dari budaya luar perlu saya hadirkan dalam bentuk tulisan untuk dibaca oleh siapapun. Bahasa tulisan adalah median paling murah meriah yang dapat saya gunakan untuk memperkenalkan budaya Bugis – Makassar. Murah dari segi biaya karena hanya butuh kemauan untuk menuliskannnya, ditambah sedikit rupiah untuk akses internet, maka jadilah tulisan-tulisan tersebut bisa dibaca oleh siapapun dan dimanapun ia berada. Tanpa batasan usia, ruang dan waktu bahkan tanpa batasan biaya. Murah meriah karena para pembacanya cukup buka akses ke internet dan mencarinya di blog pribadi saya atau di laman facebook saya. Tidak lagi harus membeli buku yang super tebal, langka dan mahal. 

Jadi, ijinkan saya tegaskan. Bahwa saya hanyalah sekedar pegiat budaya bukan pakar budaya, bukan budayawan apalagi peneliti budaya. Sematan peneliti budaya adalah ranahnya para akademisi, bukan ranah saya yang hanya sekedar ikut nimbrung menggelorakan semangat melestarikan budaya, khususnya budaya Bugis – Makassar.

Untuk sekedar nimbrung itupun saya masih harus banyak belajar pada para begawan budaya Bugis – Makassar seperti Prof. Nurhayati Rahman, Prof. Aminuddin Salle, DR. A. Ima Kesuma, DR. Naidah Naing, DR. Muhtazar, DR. Ahmad Saransi, DR. Ahmad Ubbe, DR. Andi Agussalim, Mustari Ambok, M. Ruislang Noortika, Jamal Gentayangan, Nirwan Arsuka, Nur Wahidah, Dian Cahyadi, Andi Farid Makkulawu, Andi Oddang, Andi Rahmat Munawar, Noor Sidin, Ambo Tang Daeng Matteru, Dang Bate M, Asril Gunawan, Rara Sultan, Juhansar A. Latif, Danial, Nursam Ombak, Joe Marbun, Mansoer Hidayat, Asriadi Surya G, Panembahan Kariwara, Didi Ab, Renaldi Maulana, Samang T Sumpala, Suharman Musa, Afrat Lagosi, Ika Farikha Hentihu, Cheng Parudjung dan masih banyak lagi yang lain.

Diluar itu saya juga masih terus dan harus terus membuka ratusan literatur berupa buku, makalah dan lembaran-lembaran lontaraq yang butuh dan biaya untuk mendalaminya. Terkait poster publikasi yang terlanjur beredar, saya telah sampaikan ke panitia agar tidak usah menggantinya, meski dalam poster tersebut nama saya tertulis salah. Tidak tega melihat panitia harus mengeluarkan biaya lagi untuk cetak ulang poster publikasi baru. Bukankah kegiatan budaya adalah kegiatan yang selalu sepi dari donator dan sponsor. 

Berbeda dengan kegiatan-kegiatan yang mengusung tema politik yang selalu diincar para donator, atau acara hiburan yang jadi rebutan para sponsor. Bukan begitu? 

Akh, jangan-jangan saya salah lagi. Sudahlah tidak usah diteruskan takut saya dianggap sok analitis, bisa tambah runyam nantinya. Salam budaya, mari terus gelorakan semangat melestarikan, merawat dan membumikan nilai-nilai budaya kita masing-masing. Sekali lagi salam budaya.