Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pendekar Budaya Sul-Sel-Bar di Yogyakarta

“PARA PENARI”
( Tulisan lama yang lupa di-posting)

Djogja kota budaya, semua orang sudah tahu tentang itu. Tapi di mata penulis, Djoja ibarat rimba persilatan. Di kota inilah ratusan pendekar-pendekar budaya Nusantara berbaur, saling unjuk jurus dan olah kanuragan (baca: kebolehan). Di kota inilah mereka berjuang menampilkan identitas budaya mereka sebagai sebuah sajian seni dan budaya di tengah ratusan bentuk budaya lainnya yang juga mencoba sejajar dan seiring dengan budaya Jawa khas Yogyakarta sebagai tuan rumah.

Tidak heran jika diberbagai kegiatan kita dapat menyaksikan musik dan tari asal Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Sumatera dipentaskan baik itu sebagai pengisi acara tunggal, pengisi acara yang berdampingan dengan daerah lainnya atau tampil sendiri dengan konsep solo performance. Salah budaya daerah yang kerap ditemui penampilannya adalah musik dan tari asal Sulawesi Selatan. Silih berganti duta-duta budaya asal Sul-Sel tampil sebagai pengisi acara dalam rangkain kegiatan seperti Ulang Tahun Kota Yogyakarta, Beber Seni, Festival Kesenian Yogyakarta, Malioboro Carnaval, Pawai Budaya Yogyakarta, Festival Budaya Yogyakarta, Jogja International Etnic Culture Festival, dll. Mereka juga kerap tampil solo dengan konsep pertunjukan, seperti “Massureq” dalam Rumah Budaya Sul-Sel, Pementasan “Antara Cinta, Ombak dan Siri’”.

Tak hanya di Yogyakarta, para duta budaya Sul-Sel ini kerap pula tampil di Kota Solo, Boyolali dan Purwokerto seperti dalam acara Festival Kraton, Kirab Budaya Solo atau tampil dalam berbagai pesta pernikahan bernuangsa Bugis-Makassar  lengkap dengan musik, tari dan MC berbahasa Bugis-Makassar. Bagi penulis, kehadiran para pegiat budaya ini menjadi pengobat rindu akan kenangan, aura kampung halaman. Penulis merasakan kegiatan kebudayaan Sulawesi Selatan lebih terasa di Yogyakarta dibanding di kampung halaman sendiri. Para pelaku budaya ini adalah “pendekar budaya”, mereka berjuang memperkenalkan budaya Sulawesi Selatan dengan kesadaran sendiri, dengan keringat mereka sendiri, bahkan perlengkapan pementasan mereka adakan dengan swadaya dan swadana, miris.

Dari sekian banyak pelaku budaya tersebut, para penari selalu menjadi pusat perhatian, termasuk bagi penulis. Selain karena kecantikan mereka yang khas, gerakan gemulai mereka juga menjadi daya tarik sendiri. Lebih dari itu, kisah perjuangan mereka adalah sebuah cerita. Cerita tentang pengorbanan, pengabdian dan tanggung jawab seorang duta budaya tidak formal karena mereka tak pernah ditasbihkan secara formal minimal oleh Dinas Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan dan jajarannya.

Para penari tersebut kesemuanya adalah Mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta, baik yang tinggal di asrama maupun yang indekost di sekitar kampus. Salah satu diantaranya adalah Aqua A Kagome, wajah cantik gadis lansing ini kerap mewarnai berbagai tarian yang dipentaskan dalam berbagai kegiatan. Kesibukannya sebagai Mahasiswi Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan pengurus BEM Fakultas Kedokteran UGM tak menjadi halangan baginya, padahal mahasiswa kedokteran identik dengan beban kuliah yang padat dan tak kenal waktu. Keaktifan warga Asrama Anging Mammiri ini sering kali menjadi pembanding bagi Mahasiswa lainnya, jadwal kuliah yang padat bukan alasan untuk tidak aktif dalam berkesenian dan berbudaya. Semuanya terletak pada kemauan, “asal ada kemauan pasti semua bisa diatur” tutur Wardah, salah satu pegiat budaya Sul-Sel mengomentari kemauan dan antusiasme yang ditunjukkan Aqua, sapaan akrab gadis asal Barru, Sul-Sel ini.

Penari lainnya adalah Fitriani Ibrahim, akrab dipanggil Fitri. Mahasiswi asal Wajo yang sedang menyusun Skripsi di Universitas Tehnologi Yogyakarta (UTY) ini mengakui “Saya lebih menikmati kebudayaan daerahku selama di Jogja”. Pengakuan ini tidak terlepas dari lingkungan tempat tinggalnya di Asrama Mahasiswa Putri Wajo, di asrama ini semua warga asrama memang di wajibkan untuk bisa menari dan siap pentas diberbagai kegiatan. Para Mahasiswa Wajo di Yogyakarta memang memiliki sanggar seni sendiri, sanggar Seni La Tenribali. Fitri sedikit beruntung dibanding para penari lainnya karena memiliki dasar dan pengalaman menari pada saat masih pelajar SMA dulu.

Hal berbeda diungkapkan oleh Imah, salah satu rekan Fitri di Sanggar Seni Latenribali. Pemilik nama lengkap Andi Fatimah ini menuturkan “saya sama sekali tidak punya dasar menari sebelumnya, baru di Jogjalah saya belajar. Itupun karena dipaksa, tapi lama-lama asik juga”. Mahasiswi Tehnik Sipil Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bersama rekan penari lainnya belajar menarik dari para kakak-kakaknya di Asrama, latihan diselenggarakan sesuai kebutuhan, biasanya dimulai setelah Shalat Magrib hingga jam 12 malam atau pada hari Minggu. Baik Imah dan Fitri mengakui tidak mengalami kendala dalam mengatur waktu antara kuliah dan jadwal latihan sanggar dan pementasan itu sendiri. Bagi mereka berdua, kendali ada ditangan mereka sendiri. Disinilah mereka belajar membedakan mana yangg harus didahulukan, disini pula mereka belajar mengarahkan diri sendiri untuk mengambil keputusan, menyelaraskan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.

Baik Aqua, Fitri maupun Imah sama sekali tidak pernah membayangkan sebelumnnya jika di Yogyakarta ini mereka akan menjadi penari, terlibat dalam kegiatan seni dan budaya di kota Budaya Yogyakarta. Namun itulah yang membuat mereka paham dengan kebudayaan mereka, paham akan jenis tarian Sul-Sel, paham pakem tata rias Sul-Sel, paham akan filosofi dan sejarah baju bodo, paham dengan perbedaan kalung pakaian adat mereka. Disini pula mereka mengenal karakter dengan saudara mereka dari berbagai suku dan etnis di Sul-Sel. Mahfum, bertolerasi dan bekerjasama dengan saudara sedaerah sendiri, tidak saling bermusuhan seperti saudara mereka di Makassar saat ini.

“Seni harus menyatukan bukan memecah belah” inilah prisip yang dipegang dan ditularkan oleh Herlina Sari, seorang Apoteker lulusan Universitas Islam Indonesia yang juga aktif menari bersama sanggar Tana Daeng yang dikelola oleh IKAMI Sul-Sel Cab. DIY. Pengalaman menari Herza, begitu ia kerap disapa ternyata sangat panjang, ia mulai belajar menari sejak kelas 2 Sekolah Dasar dan berlanjut hingga kuliah di Universitas Islam Makassar. Pengalaman inilah yang kemudian dibawa dan dibaginya saat diminta melatih adik-adiknya di Asrama Anging Mammiri di Yogyakarta, meski Herza sendiri justru banyak belajar secara autodidak lewat vidio, kaset atau datang ke pertunjukan. “Saya tidak punya guru besar”, kelakar Herza. Mengingatkan istilah suhu, guru besar dalam dunia persilatan. Kelakar inilah yang menjadi inspirasi penulis membuat reportase ini.

Lebih lanjut, dengan lesung pipit ini menceritakan “Di jogja keinginan untuk berkesenian saya tahu sangat besar, bahkan mungkin lebih besar dari teman-teman yg ada di tanah kelahiran kita. Namun mereka tidak punya gebrakan, tidak punya langkah atau apalah namanya, yang jelas seni jika dibicarakan saja tanpa aksi bulsit namanya”.

Menjawab pertanyaan penulis tentang perbedaan tampil menari di Sul-Sel dan di Yogyakarta, Herza menceritakan jika perbedaan itu hanya terletak pada penontonnya saja. Jika di Sul-Sel yang menyaksikan adalah orang Sul-Sel sendiri, sementara di Jogja besar kemungkinan tidak hanya orang Sul-Sel. “Saya lebih banyak memahami budaya Sul-Sel di kampung halaman, tapi saya lebih menikmatinya di Jogja dan saya sendiri tidak tahu alasannya” pungkas Herza.

==============
Sumber Foto : Kas-Kus