Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Diaspora Bugis Makassar di Pulau Jawa; Bagian 1

DIASPORA BUGIS-MAKASSAR DI PULAU JAWA[1]
Menilik sejarah dan peradaban orang Bugis-Makassar di Pulau Jawa
Oleh : Suryadin Laoddang[2]


Bagian 1 dari 7 Bagian

Pendahuluan
Antara Gowa, Kompeni, Karaeng Galesong dan Karaeng Bonto Marannu

Merunut sejarah migrasi orang Bugis-Makassar, maka akan panjang daftar kepulauan dan daratan yang akan kita temui sebagai daerah yang pernah dikunjungi, disinggahi higga didiami oleh orang Bugis-Makassar. Daftar panjang tersebut akan menyebut wilayah Australia di ujung selatan pulau Sulawesi, daratan Eropa Timur di ujung timur, daratan Afrika di ujung barat dan Amerika di ujung Timur. Diantara daerah yang banyak disinggahi dan didiami para imigran Bugis-Makassar salah satunya adalah Pulau Jawa.

Selain karena faktor jarak, pulau Jawa lebih mudah dijangkau para migran (baca: pelaut) karena tantangan dalam pelayaranan relatif lebih mudah. Pulau Sulawesi dan Jawa hanya dibatasi oleh lautan Jawa yang bukan merupakan lautan lepas. Selain itu pulau Jawa yang menjadi pusat perekonomian dan pendidikan di Indonesia adalah alasan tersendiri para migran tersebut untuk beramai-ramai datang ke Jawa. Migrasi tersebut terus berlangsung hingga hari ini. Jauh sebelum hari ini, para leluhur Bugis-Makassar telah datang dan memberikan sumbangsih mereka dalam membangun peradaban budaya di Pulau Jawa. Catatan dan bukti sejarah tersebut dapat di temui di Madura, Tuban, Gresik, Surabaya, Sidayu, Demung, Pasuruan, Pajarakan, Gombong, Gerongan, Kediri hingga Malang di Jawa Timur. Menyusul Lasem, Rembang, Karimun Jawa, Pekalongan dan Surakarta di Jawa Tengah, Cirebon di Jawa Barat, Plered, Kotagede dan Yogyakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan berimbas pada peradaban di Pulau Bali.

Pada abad XV (1667-1676) kehadiran orang Bugis-Makassar sangat terasa di Pulau Jawa terutama didaerah pesisir utara pulau Jawa, wilayah timur dan wilayah kerajaan Mataram (sekarang Yogyakarta). Hal ini tidak terlepas dari peperangan yang dikobarkan oleh orang-orang Bugis-Makassar melawan pemerintah kolonial Belanda kala itu. Cerita bermula pada saat ditanda tanganinya Perjanjian Bongayya antara kompeni Belanda dan Kerajaan Gowa pada hari Jum’at, 18 November 1667. Perjanjian damai yang ditanda tangani oleh Admiral Cornelis J Speelman dari Belanda dan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa rupanya tidaklah membuat semua pihak senang.

Di pihak keluarga Sultan Hasanuddin banyak yang menolak perjanjian tersebut secara terang-terangan bahkan membangkan kepada Sultan Hasanuddin, namun adapula yang menerima meski dengan terpaksa, sebagaimana yang dirasakan Sultan Hasanuddin saat menandatangani perjanjian tersebut. “Sesungguhnya karena kesabaran rakyatku bersedia memberikan apa yang mereka inginkan dalam perjanjian Bungaya melalui aku; tetapi mereka menghendaki jantungku, dan hati ini adalah martabat dan harga diri setiap manusia!” demikian kalimat yang diucapkan Sultan Hasanuddin beberapa saat setelah menandatangani perjanjian tersebut, perjanjian yang pada akhirnya mengawali masa mundurnya emperium kerajaan Gowa.

Peralihan kontrol kekuasaan pada kerajaan Gowa dan kerajaan-kerajaan yang berada dalam pengaruhnya berhasil memperlemah perekonomian kerajaan Gowa. Ketika Belanda mengambil alih benteng Ujung Pandang (Fort Roterdam) dan perkampungan disekitarnya dijadikan puasat kekuasaan dan perniagaan rempah, maka kegiatan Bandar Niaga Makassar ikut berpindah dari Somba Opu ke Ujung Pandang. Setelah kawasan niaga berpindah, perniagaan menjadi monopoli Kompeni sementara rakyat Gowa diberi batasan dalam melakukan perniagaan dan pelayaran. Tak hanya dalam bidang perekonomian, bidang politik dan pemerintahan juga mendapatkan kontrol ketat dari pihak Kompeni. Salah satunya adalah aksi sepihak Kompeni yang mencopot I Manindori Kare Tojeng[3] yang bertahta di Galesong, digantikan dengan Daeng Malewa. Spellman berdalih bahwa kakek dan moyang Daeng Malewa telah berkuasa di Galesong jauh sebelum ditaklukkan Kerajaan Gowa.

Pergeseran pusat niaga, monopoli perniagaan oleh pihak Kompeni yang diikuti banyaknya batasan dalam pelayaran dan perniagaan serta campur tangan Belanda dalam urusan pemerintahan kerajaan Gowa makin membuat banyak pihak yang tak senang. Banyak bangsawan lokal/raja-raja kecil beserta para pengikutnya meninggalkan daerahnya, merantau dan membuka daerah baru, menikmati kebebasan hidup, menata kembali kehidupan mereka, menegakkan kembali kewibawaan mereka bahkan melanjutkan perlawan terhadapa kompeni. Salah satunya adalah I Manindori Kare Tojeng yang dikudeta dari tahtanya di Kerajaan Galesong. Karena merasa malu, akhirnya ia pergi meninggalkan Makassar dan berlayar ke Jawa[4], dengan tujuan ingin melanjutkan perlawanannnya dan perlawanan ayahandanya terhadap kompeni.

Salah satu tokoh lainnya yang juga meninggalkan Makassar kala itu adalah Karaeng Bonto Marannu[5]. Berbeda dengan kerabatnya (Karaeng Galesong) yang dalam catatan sejarah tidak jelas disebutkan akan menuju daerah mana di Pulau Jawa, Karaeng Bonto Marannu menetapkan tujuan pelayarannya menuju ke Banten. Keberangkatan Karaeng Bonto Marannu ke Banten diduga adalah usaha untuk melanjutkan perlawanan terhadap Belanda. Ia ingin turut bergabung dalam peperangan Banten melawan Belanda (Pen). Kesultanan Banten merupakan kerajaan besar pada yang masa itu. Posisinya sangat dekat dengan pusat pemerintahan Kompeni di Batavia (Jakarta). Oleh Belanda, Banten dianggap sebagai tetangga yang berpotensi mengancam keamana dan stabilitas Kompeni di Nusantara. Maka Banten menjadi target yang harus dihancurkan juga, serupa dengan Kerajaan Gowa yang dikuasai Kompeni sebelumnya. Karaeng Bonto Marannu tiba di Banten pada tanggal 19 Agustus 1671 dengan 800 orang prajurit yang menumpang tiga perahu dan satu kapal Jung besar[6].

Hubungan antara kerajaan Gowa-Tallo dan kesultanan Banten telah terjalin lama dan kuat, terutama karena peranan Syekh Yusuf. Seorang Muballig asal Gowa yang sempat menetap dan berdakwah di Banten sebelum melanjutkan perjalanannya ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agamanya. Awalnya, Kompeni gusar dengan keberadaan orang-orang Makassar di Banten dan terus mengawasi serta mempersiapkan serangan terhadap Kesulatanan Banten dibawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Namun disaat bersamaan Kompeni juga menerima kabar jika Karaeng Galesong terus membuat kekacauan di Bima. Tak ayal perhatian Kompeni beralih pada ulah Karaeng Galesong dan menunda untuk menyerang Banten. Penundaan ini membuat gusar orang-orang Makassar di Banten yang sudah “gila” perang melawan Kompeni. Merasa jenuh menunggu perang yang tak kunjung datang, akhirnya Karaeng Bonto Marannu meninggalkan Banten menuju ke arah timur pesisir utara pulau Jawa.

Pada bulan September 1674, Karaeng Bontomarannu tiba di Jepara dan berniat untuk memohon izin untuk mendapatkan tempat tinggal dan hidup dengan aman kepada Sunan (Susuhunan Amangkurat I), namun permohonan tersebut di tolak mentah-mentah. Respon penolakan dari Amangkutat I ini berbeda dengan Putra Mahkotanya, Adipati Anom. Putra mahkota yang sebelumnya telah berkomplot dengan Trunojaya untuk menggulinkan Ayahnya dari puncak kekuasaanya. Adipati Anom memberikan tempat kepada Kareng Bonto Marannu dan 6000 pasukannya di daerah timur Jawa, tepatnya di Demung (sekarang Besuki, Situbondo).

Lima bulan sebelumnya, Karaeng Galesong IV bersama 2000 pengikutnya juga telah tiba dan menetap di daerah Pajarakan. Sebuah daerah yang hanya berjarak kurang dari 50 KM dari Demung. Ia membawa serta para panglimanya, diantaranya Busung Mernung Panji Karonuban, Daeng Makiucing, Daeng Wigeni dan Daeng Marewa. Keberadaan Karaeng Galesong dan pengikutnya di Pajarakan sukses mengecoh Kompeni yang menyangka Karaeng Galesong masih di Bima bersembunyi dari kejaran tentara Kompeni. Di Pajarakan, Karaeng Galesong membuat kekacauan yang merembet hingga ke Demung, tempat dimana Karaeng Bonto Marannu berada. Tak pelak dua kekuatan tersebut bersatu dan membuat kocar-kacir penduduk dan pemimpin daerah-daerah yang terletak dipesisir laut tersebut. Tak ada yang berani melawan karena Bupati setempat berada di Ibukota kerajaan Mataram. Kekacauan ini terus berlanjut hingga terdengar oleh pihak kerajaan Mataram yang ditandai dengan adanya surat tertanggal 30 April 1675, berupa laporan dari Jepara yang menyebutkan jika Galesong melancarkan peperangan untuk merebut Gresik dan Surabaya. Kabar keberadaan Karaeng Galesong di Pajarakan dan Demung ini baru diketahui Kompeni pada akhir tahun 1675.

Bersambung ....




Catatan Kaki

[1] Dibuat untuk Siri Penyelidikan dan Penerbitan Buku “Bugis dalam Peradaban Melayu dan Dunia”, Universiti Pendidikan Sultan Idris Malaysia

[2] Pegiat sejarah dan budaya Sulawesi Selatan, menetap di Yogyakarta. Aktor dalam film dokomenter “Diaspora Bugis-Makassar dan Kebangkitan Nasional”, 2008

[3] Putra Sultan Hasanuddin dari istri keempatnya, I Mammi Daeng Sangnging Lo’mo Tobo yang berasal dari Majannang. Lahir pada tanggal 29 Maret 1655. Bergelar Karaeng Galesong IV (1662-1667), menggantikan Karaeng Galesong III, yang diangkat menjadi Panglima angkatan perang Kerajaan Gowa dalam perang Makassar tahun pada tahun 1666 hingga ditandanganinya perjanjian Bungaya.

[4] Tidak ditemukan catatan yang menyebutkan nama daerah yang akan dituju oleh Karaeng Galesong di Tanah Jawa. Namun dalam catatan DeGraaf dalam Abidin, 1983:54 ditemukan catatan yang menyebutkan Karaeng Galesong justru berlabuh di Bima (Nusa Tenggara). Tidak diketahui kenapa ia dan armadanya berada disana? Mungkin karena faktor kedekatannya Sultan Bima, Sultan Abil Khair Sirajuddin (Wafat 1682) yang menikah dengan saudara sultan Hasanuddin yang bernama Karaeng Bonto Je’ne. Dalam perkembangannya kemudian Sultan Bima turut serta dalam upaya Karaeng Galesong meruntuhkan kerajaan Mataram (Yogyakarta) di bawah Raja Amangkurat I yang kala itu berpihak ke Kompeni. Sultan Bima kala itu berada satu pasukan bersama Karaeng Bonto Marannu. Masih dalam catatan DeGraff, dicatat bahwa salah satu pimpinan pasukan Makassar meninggal di Bima pada tanggal 16 Juni 1673, pimpinan pasukan tersebut bernama Karaeng Tallo.

[5] Bernama lengkap I Pakkebbu Karaeng Jarre Karaeng Bontomarannu Karaeng Galesong. Panglima Angkatan Laut Kerajaan Gowa yang bergelar KaraEng Bontomarannu. Tiba di Banten pada tanggal 19 Agustus 1671 dengan 4 perahu bersama pengikutnya sebanyak 800 orang. Termasuk didalamnya Raja Tallo Sultan harun Al-Rasyid, I Manninrori Daeng Mangeppek (bersaudara lain ibu dengan Raja Tallo Harun Al Rasyid) dan I Ata Tojeng Daeng Tulolo Syaiful Muluk Karaeng Bontomajannang (saudara lain ibu dengan Sultan Hasanuddin). Karaeng Bontomarannu sebelum diangkat menjadi Panglima Angkatan Laut Kerajaan Gowa pernah menjadi Karaeng Galesong yakni Karaeng Galesong ke III (dari tahun 1656-1659). Karaeng Bontomarannu adalah merupakan salah satu musuh utama Belanda. Namanya disebut-sebut dalam dalam isi perjanjian Bungaya, pada point 15 Perjanjian Bungaya tertulis sebagai berikut; “Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum”.

[6] Andaya, Leonard Y., Warisan Arung Palakka; Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17, Makassar, Penerbit Inininawa, 2006. Halaman 263.

Trainer UMKM 

2 comments for "Diaspora Bugis Makassar di Pulau Jawa; Bagian 1"

  1. maaf bang numpang baca artikelnya.. mantap
    http://www.avatarzaharuddin.top/2015/12/manusia-dalam-perspektif-al-quran.html

    ReplyDelete
  2. kami generasi muda medium ini banyak membutuhkan bacaan seperti ini yang selalu mengingatkan kami tentang sejarah, adat istiadat, dan juga local wisdom TANAH BERADAT tanah sulawesi.

    ReplyDelete