Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Masjid Jogokaryan; Jualan Mukena Mahora


Pedagang memang banyak akal menarik pembeli. Selama bulan puasa, misalnya, penjual di Tanah Abang mempromosikan pakaian takwa ala Pasha Ungu dan JK. Sementara di Kampung Jogokariyan, Yogyakarta, citizen reporter Suryaddin Laoddang menyaksikan mukenah Manohara ramai dipromosikan. Di sana bahkan ada kerudung berlabel Noordin M Top. Wah!. (p!)

Kampung Jogokariyan yang terletak di sisi terluar arah selatan keraton Yogyakarta menjadi pilihan berbuka puasa kami sekeluarga pada akhir Agustus lalu. Jogokariyan sendiri berasal dari nama pasukan brigade yang menghuni daerah tersebut di era kerajaan Mataram. Pada masa peperangan, pasukan ini merupakan laskar terdepan dalam menghadang serangan musuh dari arah selatan. Bukan cuma kampung ini yang diberi nama pasukan perang kerajaan. Tapi ada kampung lain seperti Mangkuyudan dari pasukan Mongkoyudo, Nyutran dari Nyutro, Daengan dari Daeng, atau Bugisan dari Bugis.

Kampung Jogokariyan merupakan lingkungan berbasis Muhammadiyah, berdampingan langsung dengan kampung Krapyak yang didominasi pengikut Nahdatul Ulama. Saya menyambangi kampung ini saat senja belum menyemburatkan jingga di langit, bersama istri dan anak tercinta.

Kami menyusuri Jalan Poros Parangtritis dengan menggunakan ‘motor pitung’ (sebutan orang Jogjakarta untuk motor Honda 70). Bagi saya, Si Pitung lebih memberi kesan berseni dan santai bagi pengendaranya. Jelang minggu malam, jalanan di kota Jogjakarta ramai dengan muda-mudi. Mereka ngabuburit dengan pakaian serba irit.

Masih bersisa 30 meter dari ujung jalan Jogokaryan, namun suasana kampung sudah kental auranya. Pintu gerbangnya ditata apik dengan hiasan rumpun bambu (bahasa Bugisnya tellang yang digunakan untuk membuat sarang burung pipit).

Sore itu, jalanan kampung ini begitu padat. Para pengunjung berdatangan dari berbagai arah mendekat ke sekian pedagang kaki lima (PKL) laksana semut yang mengendus keberadaan gula. Baik kiri dan kanan badan jalan, semuanya terisi.

Selain jajanan seperti kolak, dawet, cendol, juga tersedia berbagai macam lauk pauk seperti pepes ikan, pepes belut, ayam bumbu cocoh. Tak ketinggalan pernak-pernik anak-anak seperti boneka, kaos kaki imut, buku gambar dan mewarnai hingga mukenah anak.

Masjid Full-Service

Jalanan rasanya kian menyempit, membuat pergerakan kami menjadi susah. Solusinya, memarkirkan si pitung tak jauh dari Masjid Jogokaryan yang cukup terkenal dengan seabrek kegiatan di selatan kota Jogjakarta. Namanya sesuai dengan nama kampung di mana masjid ini didirikan. Lapar dan dahaga akan kami tandaskan di masjid ini.

Masjid berlantai tiga ini selain dilengkapi ruang dapur, fasilitas akses internet gratis menggunakan hot spot, juga memiliki jaringan televisi sendiri bernama Masjid Jogokaryan TV atau diringkas MJTV. Meski modulasi siarannya baru dalam radius 2 kilometer, media ini ikut menyiarkan syiar Islam di sekitar masjid.

Sambil menggendong si kecil, saya bersama istri meneruskan perjalanan hingga mencapai pintu gerbang Masjid Jogokariyan. Di halaman masjid suasana begitu meriah oleh riuh rendah anak-anak TPA yang asyik mendengarkan cerita dan lawakan Kak Bimo, pendongeng yang mampu menirukan 131 karakter suara tokoh kartun produk bisnis hiburan yang diimpor lalui jaringan televisi seperti Scooby Doo, Popeye, Donald Bebek, Sponge Bob, atau Doraemon. Tak hanya anak kecil yang tertawa senang, para orang tua juga ikut terbahak dengan ocehan Kak Bimo yang juga mampu menirukan bunyi helikopter, letupan senjata api, mobil Formula, dan sirine ambulans.

Pengeras suara melantunkan azan magrib. Tua muda duduk lesehan menikmati hidangan nasi opor ayam yang telah dibagikan panitia. Selama Ramadan tahun ini, takmir masjid bersama masyarakat Jogokaryan menyiapkan 650 porsi makanan dan minuman untuk buka puasa. Untuk beberapa hari tertentu disiapkan hingga seribu porsi. Hidangan tersebut dimasak ibu-ibu secara berkelompok. Masing-masing dapat membuat menu berbeda dengan anggaran maksimal Rp 2.600,- per porsi. Selain opor ayam, kita juga disuguhi minuman instan bermerek yang disuplai langsung dari pabriknya. Semuanya gratis!

Dua lelaki Bugis di Jogokaryan

Di sisi timur dan utara halaman masjid, berdiri jejeran gerai peserta bazaar ramadan. Berbeda dengan PKL di pinggir jalan, gerai di sini hanya menawarkan kitab dan busana muslim. Saya mendekati gerai nomor 5 dari 9 gerai yang ada. Tata letaknya begitu rapi. Di selatan disusun kitab suci Al-Qur’an, beberapa buku tentang Islam, begitu juga wewangian, buah qurma, berikut obat-obatan dari jazirah Arab.

Di sisi lainnya diletakkan jualan berupa rupa-rupa busana muslim, kopiah, baju koko, dan sebagainya. Semua barang tersedia dalam berbagai ukuran mulai dari anak berumur setahun. “Hingga hari ke-7, ukuran anaklah yang paling laris, orang tua lebih cenderung belinya agak belakangan setelah kebutuhan anaknya tercukupi” tutur Habaruddin, sang penjaga gerai.

Habaruddin, mahasiswa semester akhir di Poltekkes Permata Indonesia Yogyakarta menuturkan, selain di Masjid Jogokaryan ini, ia juga membuka gerai serupa di empat tempat lainnya. “Kami hanya buka dari jam 2 siang hingga 9 malam, kecuali hari Jumat kami buka dari jam 11 siang, sementara hari Ahad buka sampai jam 7 pagi.”

Dari rumah, Habaruddin hanya membekali diri dengan sarung untuk salat, handuk, dan peralatan mandi. Sementara makan dan minum sudah tersedia dan melimpah di dalam masjid tinggal ambil. Bersama kakak kandungnya Sudarlin, kedua perantau asal Bugis ini mengaku lebaran nanti tidak akan mudik ke kampung halamannya di Sengkang. “Kalau hanya biaya transport pulang, insya Allah adalah, tapi oleh-olehnya itu yang tidak kuat, bisa-bisa 10 kali lipat dibanding harga tiket kapal laut.”

Sudarlin yang sehari-hari berdinas di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, hanya bisa membantu adiknya selepas jam kantor, kecuali Sabtu dan Ahad ia berkesempatan di pagi hari. Sambil menunggu azan Isya sekaligus tarawih, Sudarlin bercerita bahwa barang dan buku yang dijualnya lebih banyak titipan orang dengan sistem konsinyasi. Barang-barang itu didapatkan dengan memanfaatkan jaringan kakaknya yang juga memegang amanah sebagai sekretaris Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan Jogjakarta.

Ditanya soal kampung halaman, lelaki Bugis yang telah merantau sejak 2005, mengaku sudah betah menetap di kota ini. Apalagi mereka bersaudara telah yatim piatu.

“Menjual” Manohara dan Noordin M. Top

Usai Isya, seraya menuju parkiran, saya mampir sejenak membaca baliho yang terpasang di tembok masjid. Ada seabrek kegiatan terpampang di situ, salah satunya adalah Tablig Akbar diantaranya diisi oleh Ustaz Abu Bakar Ba’asyir. “Pasti seru acaranya, apalagi isu terorisme lagi marak,” gumamku. Saya teringat kembali pertemuan dengan Noordin M. Top dan Manohara di sebuah stan kaki lima tadi sore.

Manohara dan Noordin M. Top adalah dua nama yang menjadi maskot pemberitaan beberapa bulan ini. Manohara Odelia Pinot, perempuan blasteran Enrekang-Perancis, ini tenar seketika setelah ibunya berjuang melepaskan putrinya dari kungkungan Pangeran Kelantan, Malaysia, yang menyuntingnya.

Berbeda dengan Manohara, Noordin M. Top, orang paling dicari di Indonesia, telah jadi langganan berita media massa jauh sebelum bom bunuh diri terjadi di Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta 17 Juli lalu.

Saat kasus Manohara meledak, kalangan bisnis beraksi cepat. Di pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta dalam waktu singkat beredar tas Manohara. Modelnya sesuai dengan beberapa foto tas yang dipakai Manohara. Namun harganya cukup membumi karena tingkat kualitas yang ditekan menyesuaikan daya beli sebagian besar masyarakat. Kini di saat Ramadan, beredar lagi keluaran baru: kerudung dan mukenah Manohara.


Dalam sesak pengunjung dan PKL di jalan tadi, istri saya sempat menepuk pundak sebagai isyarat untuk menghentikan sejenak si Pitung. Rupanya ia tertarik mendatangi sebuah stan yang memajang berbagai macam kerudung dan mukena mencolok dengan tulisan ‘Mukenah Manohara’ dan ‘Kerudung Noordin M. Top’. Mukenah dan kerudung ini diproduksi di daerah Kawalu, Tasikmalaya.

“Manohara dan Noordin memang tidak pernah memakainya. Kami para penjual hanya memanfaatkan momen saja untuk menarik perhatian pembeli,” terang Khilya, mahasiswa semester tiga Tata Busana Universitas Negeri Yogyakarta yang memiliki stan tersebut.

Saya tergelak., “Mukenah Manohara bolehlah. Tapi kalau Kerudung Noordin M. Top? Dia kan cowok, masak pakai kerudung?” (p!)

Post a Comment for "Masjid Jogokaryan; Jualan Mukena Mahora"