Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengenal Identitas Makassar; Manusia Perasa yang Dicap Kasar. (Bagian 2)

Makassar dikenal gampang naik darah, suka mengamuk, membunuh dan mau mati untuk sesuatu perkara sepele saja. Itulah anggapan yang melekat pada diri dan disematkan sebagai karakter orang Makassar. Cap ini kian lekat dan jelas seiring makin banyak pemberitaan media perihal kurusuhan, aksi kriminal dan tawuran mahasiswa di Makassar pada khususnya dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Penilaian yang muncul hanya karena tampilan luar yang ditawarkan media tentulah tidak bijak. Untuk mengenal seperti apa orang Makassar sebenarnya kita dituntut memahami budaya Makassar lewat karya sastra, adat istiadat dan sejarah Makassar.

Budaya Silariang (kawin lari) misalnya, apabila seorang pemuda ditolak pinangannya, maka ia merasa malu, harga dirinya tercabik-cabik. Segala upaya dilakukan agar sang gadis pujaan hati mau Erangkale (datang membawa dirinya kepada pemuda). Bisa pula sang pemuda berusaha melakukan kawin lari dengan sang gadis. Bila hal ini terjadi, pihak orang tua (keluarga) gadis itu juga merasa ditimpa “Aib Besar” (Mate Siri’). Segera mereka melakukan pencarian dan pengejaran, dengan tujuan, membunuh pasangan kawin lari tersebut.

Pembunuhan dalam kasus ini sama sekali tidak dianggap sebagai tindakan yang kejam. Sebaliknya, dianggap terhormat sebagai bentuk penegakan harga diri (Patettong Siri’). Inilah hukum adat Makassar, yang bertolak belakang dengan hukum konvensional. Hukum adat yang berlandas pada Galigo, pepatah sastra lisan Bugis Makassar yang berbunyi :

Paentengi siri’ ri Tallasanu’ [1]
Inka punna battumi kamateanga
Allei Matea ni Santangngi’

Artinya :
Tegakkan Harga Diri dalam Hidupmu
Tapi jika ajal sudah datang
Matilah secara terhormat

Ditambah dengan suara dan intonasi suara mereka yang keras dan mengelegar. Sepintas ungkapan pepatas diatas makin menggambarkan keras dan fatalisnya karakter orang Makassar. Namun, bila telah mengenal adat istiadat orang Makassar. Karakter keras dan berani orang Makassar tidak lepas dari tradisi maritim nenek moyang mereka sebagai Pelaut (Mattulada, 1995) [2]

Ganasnya ombak lautan membentuk karakter mereka yang senang berkompetisi dan tidak mengenal kompromi. Karakter keras itu diidentikan dengan kata rewako yang artinya melawan selalu bergandengan dengan kata siri’. Siri’ menjadi inspirasi dan roh dari setiap gerak langkah orang-orang Makassar kapan dan di manapun dia berada. Sebagai inti kebudayaan, Siri’ telah menjadi karakter dan kepribadian orang-orang Makassar. Sayang, belakangan ada kecenderungan Siri’ mengalami penyempitan makna dan mengalami pengaburan makna di tengah masyarakatnya sendiri. Akibatnya, Siri’ kadang terlupakan dan dikesampingkan dalam soal-soal pelayanan publik. Maka muncullah berbagai kejahatan, kriminalitas, anarkisme dan tindak-tanduk yang fatalis. Kini, siri’ identik dengan pertumpahan darah. Siri’ dalam konteks ini, berlaku ketika seseorang sudah menganggap dirinya dipermalukan, sesuai dengan tolak ukur dan kacamatanya sendiri. Tidak lagi dalam bingkai, kaidah dan norma adat.

Padahal sesungguhnya, siri’ dapat ditegakkan dengan tidak membuka peluang bagi orang lain untuk merendahkan harga diri kita. Dengan berprilaku baik, atau setidaknya tidak melakukan perbuantan buruk atau bertentangan dengan adat, hukum, kaidah dan norma yang berlaku, juga merupakan pengejawantahan siri’. Secara tegas, sejarahwan Anhar Gongong [3] mengutarakan “harga diri sebenarnya identik dengan antikekerasan, Orang berharga diri tinggi lebih mengandalkan percakapan dan dialog”. Kata siri’ sesungguhnya tidak boleh dipisahkan dengan kata pacce. Jika dipisahkan, secara personal masyarakat akan mengalami Ambivalen personality. Siri dan Pacce memiliki hubungan sebab dan akibat. “Siri’ na pacce” tidak memiliki padanan dalam kosa kata bahasa Indonesia. Kalaupun mau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka akan mendekati kata “malu, harga diri”, atau “usaha yang gigih”, “tanggungjawab, sanggup memikul rasa pahit, pantang lari atau mengundurkan diri, berani mengambil resiko”.

Pacce, secara bahasa adalah perasaan sedih mendalam karena sakit, menderita, atau kecewa. Dari pacce inilah muncul rasa simpati, empati, persatuan, dan kebersamaan. Pesse (Bugis) dan pacce (Makassar) secara gamblang diuraikan oleh Prof. Aminuddin Salle. [4]

Agak susah untuk mendapatkan padanan kata dari Bahasa Indonesia. Akan tetapi dapat dijelaskan sebagai berikut: Hampir pernah terjadi bagi kita semua, kulit kita teriris oleh pisau, sembilu atau benda tajam apapun juga. Kalau irisan kulit itu diberi yodium maka terasa “pedis”. Mendekati padanan “pedis” itulah yang disebut dengan passe(Bugis) dan pacce (Makassar. Akan tetapi, passe (Bugis) dan pacce (Makassar) itu terasa bukan pada kulit tetapi terasa dalam hati seseorang. Jadi perasaan “pedis” di hati tatkala ada seseorang di lingkungan kita yang mengalami masalah, sehingga tergerak hati kita untuk membantunya.

Dalam buku yang sama Salle juga menegaskan bahwa siri na pacce itu harus dimiliki orang Bugis Makassar, jika tidak maka cirinya sebagai manusia Bugis-Makassar telah hilang, bahkan bisa jadi mereka tidak dianggap sebagai manusia. Rupannami tau, hanya wujud fisiknya saja yang berujud manusia.

Pacce inilah yang menampilkan sisi humanis orang Makassar. Mengedepankan nilai-nilai solidaritas bagi orang Makassar. Inilah bukti bahwa mereka adalah suku bangsa yang peramah, sopan, santun dan perasa. Dahulu, kepekaan rasa “pacce” itu sangat dalam, sehingga seseorang yang mengalaminya kadang bertindak irrasional. Tak jarang, orang Makassar rela bela pati, mengeluarkan segala isi hati, harta benda bahkan korban nyawa demi orang lain.

Sebagai contoh, di masyarakat Makassar sering ditemui ungkapan “Baji’na Tau” atau “Baji’ tojengi’ La Beddu” (alangkah baik orang itu atau alangkah baiknya si Beddu), sebuah ungkapan yang bermakna empati. Kelak jika si Beddu ditimpa kesukaran, kemalangan bahkan jika ada yang berniat mencelakai, mempermalukan menginjak harga diri si Beddu. Maka orang yang mengungkapkan ungkapan diatas tadi akan rela berkorban untuk si Beddu. Maju lebih awal menumpahkan darah melindungi si Beddu, meski tidak dimintai. Bela pati ini ada karena si Beddu dipandang sebagai Bulaeng Tau (orang baik). Pelaku rela Mate ni Santangngi (mata secara terhormat), mati karena menegakkan harga diri.

Pepatah Makassar mengajarkan, “Ikambe Mangkasaraka, punna tena siriknu, pacce nu seng nu pa’ bulu sibatangngang (Bagi kita orang Makassar, kalau bukan sirik maka pacce-lah yang membuat kita bersatu).” Olehnya, orang Bugis Makassar dikenal sebagai orang yang berani, setia, bertanggung jawab, solider dan kuat pendirian. Meski demikian, tetap saja ada yang memplesetkan kata Makassar sebagai “Manusia Kasar” yang pada kenyataannya persepsi itu salah besar. Jusuf Kalla dengan tegas mengatakan, Makassar itu “S”nya ada dua, bukan satu, jadi Makassar bukan Manusia Kasar”.

--------------------------
[1] Nappu, Sahabuddin, dkk., 1991, Pantun-pantun Makassar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
[2] Mattulada, 1995, Latoa; Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Hasanuddin Unversity Press, Ujung Pandang,
[3] Disampaiakan dalam diskusi budaya pada Peluncuran Buku Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis, dalam rangkaian acara Rumah Budaya Sul-Sel di Yogyakarta. Yogyakarta, 11 Mei 2011
[4] Salle, Aminduddin., Prof., Memaknai kehidupan dan kearifan lokal, AS Publishing, Makassar, 2011


=======================

Bersambung ke : Identitas Fisik Orang Makassar

Post a Comment for "Mengenal Identitas Makassar; Manusia Perasa yang Dicap Kasar. (Bagian 2)"