Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Diaspora Bagi Orang Bugis

Oleh : Mansyur (Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat)

Mengenai kategorisasi diaspora menurut Vertovec, diaspora menyangkut tiga hal, yaitu proses penyebaran, masyarakat yang tinggal di daerah asing, serta tempat atau ruang geografis di mana mereka tinggal atau berdiaspora. Secara Sosiologis dan Antropologis masyarakat diasporik mengalami pola perubahan akibat interaksi dan adaptasi dengan masyarakat lokal. Pola perubahan ini berhubungan dengan migrasi dan status minoritas yang meliputi etnis dan pluralisme agama, identitas serta perubahan lainnya. Secara lebih luas, Vertovec menjelaskan diaspora dalam tiga bentuk yakni bentuk sosial, jenis kesadaran, dan model produksi budaya. Apabila dianalisa menurut pendapat Vertonec, diaspora Bugis di wilayah Tanah Bumbu dapat dikategorikan sebagai diaspora dalam bentuk sosial.

Penulis menganggap diaspora Bugis di wilayah Tanah Bumbu sebagai diaspora dalam bentuk sosial karena diaspora tersebut memenuhi kriteria karakteristik diaspora yang dikemukakan Vertonec. Pertama, diaspora Bugis terbentuk karena hubungan sosial yang direkatkan oleh ikatan sejarah dan geografi, sehingga secara umum diaspora dilihat sebagai akibat dari migrasi sukarela atau terpaksa dari satu lokasi, setidaknya dua wilayah, yakni Sulawesi dan Kalimantan. Kedua, orang Bugis memiliki kesadaran mempertahankan identitas kolektif yakni identitas to-Ugi’. Ketiga, identitas ini dibentuk oleh pengalaman sejarah orang Bugis di Tanah Bumbu. Keempat, suku bangsa Bugis di Tanah Bumbu juga menciptakan “organisasi-organisasi komunal” baru di tempat-tempat pemukiman, seperti ponggawa dalam bidang perikanan serta “organisasi-organisasi” lainnya. Kelima, suku bangsa Bugis juga mempertahankan berbagai hubungan eksplisit dan implisit dengan kampung halaman mereka dengan membangun pelayaran dan perdagangan. Upaya orang Bugis menjaga identitasnya dalam konteks diaspora jika ditinjau dari pendapat Frances Gouda, mengacu pada “desentralisasi” ketika kelompok kelompok agama atau bangsa tinggal di luar tanah airnya tetapi masih menjaga atau menegosiasikan identitas budaya mereka.

Sementara itu, istilah Bugis dalam tulisan ini, diartikan sebagai “orang dari Sulawesi Selatan”, seperti yang dikemukakan Christian Pelras. Sementara itu istilah to-Ugi berasal dari Bahasa Bugis yakni, to: orang, Ugi: Bugis, sehingga to-Ugi’ bisa diartikan dengan orang Bugis. Istilah ini juga biasanya dipakai oleh orang Bugis sendiri untuk mengidentifikasi dirinya di tanah rantau sehingga bisa membedakannya dengan suku lainnya. Istilah to-Ugi’ adalah kumpulan masyarakat di wilayah Tanah Bumbu, Karesidenan Kalimantan Bagian Selatan dan Timur yang memiliki adat istiadat, budaya dan tradisi Bugis.

Ugi adalah singkatan nama dari La Satumpugi, seorang Raja di Wajo pada abad ke-13 yang rakyatnya menyebut diri mereka sebagai to-Ugi’, yang berarti pengikut La Satumpugi. Selanjutnya, istilah to-ugi menjadi identitas komunitas yaitu suku Bugis yang tersebar di Nusantara. Dalam perkembangannya, identitas to-Ugi’ di Tanah Bumbu mempunyai unsur yang berbeda dengan to-Ugi’ di Wajo, Sulawesi Selatan. Perbedaan tersebut karena identitas to-Ugi’ dibentuk di luar wilayah Sulawesi Selatan, serta perbedaan beberapa unsur budaya Bugis yang sudah mengalami proses difusi ke wilayah Tanah Bumbu. La Satumpugi yang namanya menjadi asal kata Ugi’ adalah ayah dari We Cudai. Satumpugi bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. We Cudai kemudian dinikahkan dengan Sawerigading dan melahirkan keturunan orang Bugis di Sulawesi Selatan, termasuk La Galigo. Fenomena penamaan to-Ugi’ ini hampir sama dengan penamaan Suku Bajau yang berasal Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajau menggunakan bahasa Sama sehingga sering disebut juga sama bajau. Penamaan suku Bajau berbeda di tiap daerah tetapi tetap menunjukkan suku yang sama, seperti Badjau, Bajo atau Bajau Samma.

Penggunaan kata Ugi’ pada suku bangsa Bugis di Tanah Bumbu untuk menunjukkan bahwa “inilah diri orang Bugis”. Misalnya, menggunakan istilah basa Ugi’ atau bahasa Bugis, elong Ugi’ atau lagu Bugis, dan istilah lainnya yang menunjukkan hal tersebut adalah “hanya” milik orang Bugis. Sementara “label” yang diberikan oleh orang Bugis di Tanah Bumbu pada suku lainnya, dengan menyebut awal nama suku bersangkutan dengan tambahan kata to yang menunjukkan orang, misalnya orang Banjar disebut to-Banjara’, orang Dayak disebut to-Daya’, orang Jawa disebut to-Jawa, dan lain sebagainya.26 Selanjutnya, pendekatan yang dipakai dalam tesis ini adalah pendekatan Antropologi. Dalam pendekatan ini, penulis berupaya untuk melakukan reapprochement (saling mendekatkan) antara Sejarah dengan Antropologi sehingga bisa mendukung eksplanasi sejarah. Sebagai ilmu yang “tak lengkap”, Sejarah mesti meminta bantuan dari ilmu sosial untuk melengkapi dirinya, seperti dalam tataran teoritis dan metodologis. Pendekatan Antropologi ini, diaplikasikan penulis untuk menjelaskan beberapa hal yang dibahas dalam tesis ini seperti konsep migrasi atau mallekke’ dapureng sebagai spirit pada diri orang Bugis dan hubungan patron-klien Bugis atau ajjoareng-joa. Adapun teori yang diaplikasikan dalam membahas tesis ini adalah Teori Diaspora Klasik yang dikemukakan oleh Safran. Menurut Safran, ada enam karakteristik dari diaspora, yaitu : (1) Etnis atau suku atau nenek moyang mereka meninggalkan tanah airnya karena terpaksa menuju daerah yang asing. Kemudian (2) mereka mempertahankan memori kolektif, visi atau dongeng tentang tanah tumpah darah asli mereka. Selanjutnya (3) mereka percaya bahwa tidak bisa secara penuh diterima oleh masyarakat tuan rumah dan oleh karena itu sebagian mengasingkan dan membatasi diri. Berikutnya (4) mereka menganggap tanah tumpah darah nenek moyang mereka sebagai rumah ideal untuk menjadi tempat mereka atau keturunannya akan kembali. Kemudian (5) mereka percaya bahwa mereka secara bersama merasa terikat dengan tanah air asli mereka. Selanjutnya (6) mereka menghubungkan dirinya dengan tanah air nya dengan cara apapun, dan memelihara kesetiakawanan antar mereka.

Dalam teori tersebut, daerah tujuan diaspora disebut juga “negara tuan rumah”, dimana ikatan antar penduduk yakni penduduk “pendatang” dan penduduk “asli” memainkan peran penting. Kemudian penduduk yang berdiaspora tersebut memelihara hubungan antara daerah asalnya dengan daerah tujuan “diaspora”-nya sehingga terjadi “tarik-menarik” melalui memori, dan akhirnya tercipta sistem hubungan dalam suatu jaringan diaspora. Pembatasan istilah “diaspora” menurut Safran sangat diperlukan karena istilah “diaspora” -oleh beberapa ahli- sering dianggap hanya sebagai metafora dibandingkan perannya secara instrumental. Karena itulah, dalam teori-nya menurut kriteria dari Safran diaspora harus dipersempit ke dalam enam fokus yakni faktor pendorong diaspora, pemilihan daerah tujuan diaspora, identitas kesadaran, “jaringan” diaspora, durasi hubungan transnasional dan otonom daerah tujuan dan daerah asal.

Menurut Safran, populasi “diasporik” (masyarakat diaspora) terbentuk karena tekanan seperti bencana kelaparan dan kemiskinan. Pemilihan daerah-daerah tujuan diaspora sesuai dengan struktur rantai migrasi yang terjadi antara dua daerah. Dalam hal ini setelah terdapat rute-rute migrasi yang memungkinkan untuk terjadinya diaspora. Kemudian populasi “diasporik” terintegrasi tetapi tidak “berasimilasi” dengan penduduk “tuan rumah”. Penduduk “diasporik” mempertahankan kesadaran identitas yang kuat karena masih mempertahankan memori tentang daerah asal dan sejarahnya. Hal ini menyiratkan adanya ikatan yang kuat dengan daerah asal atau biasa diistilahkan dengan 'komunitas imajiner'.
Kelompok-kelompok diaspora yang tersebar dalam gelombang migrasi ini melestarikan dan mengembangkan budaya-nya, kemudian memelihara hubungan interaksi antara mereka sendiri. Kelompok diaspora memelihara hubungan dengan daerah asal dengan melakukan “pertukaran” baik berupa orang, barang dari berbagai jenis, informasi, dan lain sebagainya melalui suatu jaringan. Dalam ruang jaringan tersebut bersifat non-hirarkis atau cenderung horizontal, tidak vertikal. Diaspora menjadi formasi sosial otonom antara penduduk pendatang dengan “tuan rumah”.

Post a Comment for "Diaspora Bagi Orang Bugis"