Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Diaspora Bugis Makassar di Tanah Bumbu

Oleh : Mansyur (Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat)

Ada beberapa buku yang relevan, yang berisi informasi dan dapat dijadikan acuan dalam menyusun tesis ini. Karya pertama yang dikaji dalam tinjauan pustaka ini adalah disertasi Kathryn Gray Anderson, The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora.14 Disertasi ini membahas hubungan antara Wajo, sebuah pemerintahan konfederasi Bugis di Sulawesi Selatan, dengan kelompok-kelompok migran Wajo di luar daerahnya seperti di Makassar, Sumatera Barat, Selat Malaka, serta Kalimantan Timur dan Tenggara, setelah Perang Makassar (1666-1669).

Anderson berpendapat bahwa orang Bugis yang berdiaspora ke daerah lain, berinteraksi dengan daerah pusat dalam cara yang mirip dengan konstituen lokal dan bahwa daerah tujuan di aspora dapat dilihat sebagai bagian dari negara. Migran Wajo menurut Anderson memiliki fleksibilitas yang luar biasa dalam beradaptasi dengan kondisi lokal di daerah di mana mereka menetap. Sementara itu, tiap komunitas Bugis yang berkembang di daerah tujuan bisa bekerja sama dan memiliki strategi sehingga bisa membaur. Terutama lewat jalan perkawinan, diplomasi dan peperangan.

Berbagai komunitas Bugis di berbagai daerah juga bekerja sama dalam membangun daerah komersial dan saling memberikan bantuan militer. Kerjasama tersebut didukung adanya konsep Bugis yakni pesse’ dan solidaritas atau simpati. Pesse’ adalah ikatan emosional yang mengikat migran dengan tanah air nya di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu kunci untuk pemeliharaan hubungan antara pemukim Bugis Wajo di beberapa daerah, adalah hubungan antara perantau Wajo dengan tanah air nya yang diintensifkan pada awal abad ke-18 ketika penguasa Wajo berusaha untuk memanfaatkan kekuatan militer dan potensi komersial daerah tujuan migran.

Upaya ini mencapai puncaknya tahun l736 ketika salah seorang penguasa Wajo, La Maddukelleng, yang terusir dari Wajo kembali dari Kalimantan Timur ke daerah Wajo di Sulawesi Selatan. La Maddukelleng mendapat dukungan orang Wajo di Makassar dan Sumbawa untuk mengusir Belanda dari Sulawesi Selatan. Walaupun pada akhirnya gagal, tindakan ini mencontohkan “budaya diaspora” orang-orang Wajo, walaupun berada di luar daerahnya tetap menjadi bagian penting dari daerah Wajo yang menjadi homeland nya.                                     Adapun kelebihan dari tulisan K.G. Anderson ini, adalah pembahasannya yang cukup rinci tentang diaspora orang Bugis Wajo pada abad ke-18. Kemudian dari tulisan ini juga dapat dijadikan acuan sekaligus perbandingan dalam “meramu” bahan tulisan untuk penulisan tesis ini, terutama dipaparkan dalam bab 6, tentang diaspora orang-orang Bugis Wajo di Kalimantan bagian timur dan tenggara.

Dalam bab ini, dibahas tentang kondisi perekonomian di wilayah pesisir Kalimantan. Kemudian sejarah awal orang Wajo serta daerah-daerah yang menjadi tujuan diaspora di Kalimantan Timur dan Tenggara, yakni Kutai, Pasir dan Pagatan. Selanjutnya jaringan perdagangan dan penaklukan La Maddukelleng serta pembentukan komunitas di daerah taklukannya di Kalimantan bagian timur dan tenggara. Karya selanjutnya adalah tulisan Jacqueline Linneton Passompe’ Ugi’ ,Bugis Migrants and Wanderers. Dalam tulisannya, J. Linneton menjelaskan tentang Passompe’ Ugi’ (perantau Bugis) dari Sulawesi Selatan yang sejak lama terkenal memiliki jiwa petualang yang berlangsung sejak akhir abad ke- 17.

Suku bangsa Bugis bertualang ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan berprofesi sebagai pedagang dan penakluk negara-negara kecil. Migrasi orang orang Bugis terjadi setelah jatuhnya Makassar ke pendudukan Belanda pada tahun 1669. Sampai periode ini, gerakan migrasi ke luar daerah Sulawesi Selatan hanya terbatas pada orang-orang Bugis dan Makassar yang terlibat dalam perdagangan. Pedagang ini mungkin adalah pengembara bukan migran, yang menjelajah Nusantara untuk mencari daerah perdagangan di musim-musim tertentu, dan kembali ke Sulawesi hanya beberapa bulan setiap tahun untuk memperbaiki perahu mereka.

Menurut J. Linneton, kehadiran bangsa Eropa yang menguasai Makassar di satu sisi, memang makin menancapkan kuku hegemoni-nya. Tetapi di sisi lain, petualang Bugis secara tidak langsung terdorong untuk keluar daerahnya dan efektif mengendalikan beberapa daerah, seperti Kerajaan Johor, Riau dan Semenanjung Melayu, Kutai di bagian timur Kalimantan, sampai di Selangor, di pantai barat Semenanjung Malaya. Kelebihan dari tulisan ini adalah penjelasan J. Linneton yang cukup rinci dalam menggambarkan pengaruh Bugis di wilayah pesisir daerah-daerah di Semenanjung Malaya hingga ke Kalimantan yang berada di bawah kontrol orang- orang Bugis dan membawa budayanya yang membentuk sebuah kerajaan Bugis komersial. Perluasan perdagangan orang Bugis dan konflik dalam negeri di Sulawesi Selatan pada akhir abad ke-17 dan ke -18 menyebabkan pedagang Bugis banyak meninggalkan tempat asal mereka. Terutama sub-suku Bugis Wajo, yang menjadi pionir pembentukan koloni di Kalimantan.

Karya selanjutnya adalah tulisan Andi Ima Kesuma, Migrasi dan Orang Bugis. Dalam tulisannya Andi Ima Kesuma menjelaskan bahwa hampir di seluruh pesisir pantai di pelosok Nusantara ditemukan komunitas orang Bugis. Mereka berada di daerah tersebut dengan menjadi perantau atau pasompe. Budaya pasompe jika ditelusuri dalam jejak sejarah yang teramat panjang akan ditemukan fakta yang menyebutkan kalau migrasi secara besar-besaran orang dari tanah Bugis ke sejumlah wilayah di Nusantara bermula sekitar awal abad ke-17. Orang Bugis perantauan dikenal sebagai suku yang cepat melakukan adaptasi dengan penduduk asli. Para perantau itu kemudian mengenal adanya istilah tiga ujung atau tellu cappa dalam melakukan proses adaptasi dengan penduduk yang didatangi. Pertama menggunakan cappa lila (ujung lidah) atau kemampuan melakukan diplomasi.

Jika diplomasi dianggap tidak mempan maka dilakukan langkah kedua cappa laso (ujung kemaluan), yakni orang Bugis melakukan proses perkawinan dengan penduduk asli. Kalau pada akhirnya kedua ujung itu tidak mempan, maka ditempuhlah jalan terakhir menggunakan cappa kawali (ujung badik), yaitu dengan peperangan. Andi Ima Kesuma juga menjelaskan, salah seorang Bugis perantauan yang tiba di Johor awal abad ke-17 adalah Opu Daeng Rilakka bersama dengan lima orang putranya yakni Opu Daeng Parani, Opu Daeng Manambung, Opu Daeng Marewa, Opu Daeng Calla serta Opu Daeng Kamase. Kelima satria Bugis ini menurut Andi Ima Kesuma, memberi warna perjalanan pemerintahan di Kesultanan Johor. Daeng Rilakka merupakan turunan kedua Arung Matoa Wajo ke-44, La Oddang Datu Larompong.    
Karya ini termasuk salah satu studi mendalam soal migrasi orang Bugis dengan mengambil kasus Bugis asal Wajo di Johor Malaysia. Sejarah migrasi orang Bugis selain karena faktor ekonomi juga karena peperangan. Migrasi keluar Sulawesi Selatan berkaitan erat dengan peperangan akibat rivatalitas antar kerajaan memperebutkan hegemoni. Dalam hal ini maka migrasi pada hakikatnya adalah produk perang dan proses sosial. Tradisi pasompe telah berlangsung pada kurun waktu tahun 1600-an, bermula dari Perang Makassar melawan VOC. Bangsawan kerajaan yang bersekutu dengan Makassar banyak yang meninggalkan daerahnya.

Selain faktor perang, masompe dilakukan karena siri’ serta prinsip menyangkut kebebasan dan kemerdekaan. Dari karya ini, pola migrasi dan diaspora awal Bugis di wilayah Tanah Bumbu hampir sama dengan yang terjadi di Johor. Konsep yang dipakai Andi Ima Kesuma tentang passompe yang menjadi filosofi migrasi Bugis untuk merantau ke Semenanjung Malaya, bisa diterapkan dalam menganalisa migrasi dan diaspora Bugis di wilayah Tanah Bumbu. Selanjutnya karya Hamid Abdullah, Dinamika Sosial Emigran Bugis Makassar di Linggi Malaysia.17 Dalam tulisannya Hamid Abdullah menjelaskan tentang emigrasi orang Bugis Makassar ke kawasan Linggi, Kerajaan Selangor, Semenanjung Malaya pada tahun 1809. Kawasan itu dahulunya adalah hutan belantara yang belum terjamah oleh tangan manusia.
Demikian pula sungainya masih merupakan rawa-rawa yang belum dapat dipergunakan untuk pelayaran sampai akhirnya dibuka oleh orang Bugis. Dalam perkembangannya kawasan Linggi menjadi wilayah yang potensial dalam sektor geografis dan juga menjadi wilayah penting dalam sektor perdagangan dan ekonomi di semenanjung Malaya. Menurut Hamid Abdullah, Linggi berasal dari nama bagian buritan kapal (perahu Bugis) dan nama itu dipakai seterusnya dalam upaya membuka lahan pemukiman yang baru. Daerah Linggi ini pun dianggap sebagai pemukiman harapan. Migrasi Bugis-Makassar ke daerah Linggi terjadi sebagai akibat langsung dari terusirnya mereka dari kesultanan Riau.

Pengusiran yang sistematis itu sebagai akibat masuknya pemerintah kolonial Belanda yang berkolaborasi dengan Kesultanan Riau. Pada 10 November 1784 disusun perjanjian antara kerajaan Johor dengan pemerintah Belanda yang diberi nama Tractaat van Altoos Durende, Getrouwe Vriend end Bondgenoctschap. Perjanjian tersebut berisi aturan yang mewajibkan warga Riau asli memegang jabatan di Kesultanan, sehingga berakibat fatal bagi posisi Bugis-Makassar dalam dunia politik Kerajaan Johor.

Pengusiran itu bukan menjadi halangan bagi Bugis-Makassar untuk merebut kembali martabatnya. Mereka kembali mengarungi lautan, menerobos sungai, merambah dan membuka hutan untuk pemukiman baru. Semangat juang mereka tak surut, dan justru tambah bersemangat. Orang Bugis-Makassar “menyulap” kawasan hutan lebat menjadi tanah pertanian yang subur. Sungai Ujong di pinggir hutan Linggi dibersihkan dan dibuka untuk lalu lintas perdagangan. Makin lama pelayaran rakyat melewati alur Sungai Ujong kian ramai dan menjadikan Linggi sebagai salah satu kawasan penting.

Pada awal abad ke-19 Linggi menjelma menjadi daerah otonomi yang luas, dan orang Bugis-Makassar yang membuka daerah ini pun telah memiliki struktur pemerintahan lokal tersendiri. Tentunya, prinsip siri’ na pacce (rasa malu dan solidaritas) yang terus membakar semangat mereka, sehingga tidak jatuh mental ketika terusir dari kesultanan Riau. Menurut Hamid Abdullah, keterlibatan masyarakat Bugis-Makassar dalam kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu tampak cukup pelik. Mereka dengan terpaksa ikut terlibat perang, hiruk pikuk dalam memperebutkan kekuasaan dan mahkota kerajaan Riau, Johor, Pahang, Kedah dan Selangor. Aktivitas berupa intrik politik, komplot, skandal adalah peristiwa yang berulang setiap saat, yang kadang menimbulkan korban keluarga sendiri. Seringkali pula mereka dijebak untuk memihak pada salah satu golongan, sehingga membuat kelompok mereka terpecah-pecah. Akibatnya anak keturunan Bugis-Makassar saling bersitegang karena berbeda keberpihakan.

Konsep tentang migrasi Bugis di kawasan Linggi, Semenanjung Malaya dapat diterapkan dalam membahas tentang migrasi dan diaspora Bugis di Tanah Bumbu. Dalam pembahasan Hamid Abdullah, dijelaskan terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi Bugis. Faktor tersebut adalah kondisi politik dan ekonomi. Kemudian spirit dari orang Bugis untuk massompe’ ke daerah lain. Kemudian pembentukan komunitas Bugis di Linggi dan strategi adaptasi ekonominya, tidak jauh berbeda dengan upaya pembukaan daerah potensial di wilayah Tanah Bumbu yang dilakukan orang-orang Bugis.

Post a Comment for "Diaspora Bugis Makassar di Tanah Bumbu"