Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JOURNEY! KUBUTUH SELERA KAMPUNG


Seorang rekan bertanya “Din, kenapa gak beli novel 5 menara?”.
Ringkas saya menjawab "saya tidak mau lagi kecewa seperti kecewaku pada Laskar Pelangi".

Siapa yang tidak kenal novel Tetralogi Laskar Pelangi, saya termasuk salah satu penggemarnya. Tapi, itu hanya berlaku pada novel pertamanya. Hanya pada Laskar Pelangi, tidak pada Sang Pemimpi, Edensor dan Maryama Karpov.

Bagi saya, cerita dengan latar alam dan dinamika nusantara jauh lebih seksi untuk dinikmati. Jauh lebih ampuh membawaku masuk dalam dunia novel itu sendiri. Pada Laskar Pelangi, saya seolah dibawah berlari pada jejeran batuan besar dan hamparan ilalang, saya dibawah menertawai diri sendiri lewat sosok Mahar yang mengakali temannya untuk mahakaryanya, pada tarian berkalung buah enau. Itu nyata dan dapat dengan mudah saya gambarkan dalam benak baca saya. Itu sangat mengasikkan dibanding ketika saya diajak membayangkan negeri gandum Eropa atau negeri Timur Tengah dalam Novel Ayat-Ayat Cinta atau Ketika Cinta Bertasbih.

Itupula alasan kenapa saya sangat menikmati membaca roman Siti Nurbaya dan Sensara Membawa Nikmat dibanding Tenggelamnya Kapal Van Der Vick dan Di Bawah Lindungan Kabbah. Termasuk saya sangat menikmati membaca Kun Fayakun-nya Andi Bombang dibanding Madre-nya Dewi Lestari.

Boleh jadi ini persoalan selera, selera membaca novel dengan cerita kampungan yang saya miliki. Tapi, ingat! Saya adalah pembaca, saya punya kuasa menampik atau mengamit novel yang saya sukai, saya punya hak untuk dipuaskan. Kalau itu dianggap udik dan tidak mengikuti trend, itu hak proregatif saya. Egois.

Lagi latahkah penulis karya sastra (baca : Novel) kita? Maaf saya tidak pada tempat dan kedudukan yang layak untuk menjawabnya.

Saat saya membaca Journey-nya Athe’ Lathief, saya sangat menikmati ketika membaca masa kecil Ursa dengan ritual mengaji dan main bolanya hingga pada kekaguman Ursa pada “Ibnu Sina”-nya. Ketika mulai bercerita tentang Rumania, Amsterdam, Ultrech, maka sudahlah. Gairah menjadi hambar. Berbeda dengan Journey-nya Mhimi Nurhaeda dengan setting Makassarnya, ini lebih membumi bagi benak baca saya. Meski aroma negeri luar tetap ada sebagai bumbu. 

Jujur saya akui, saya juga mati rasa kala Shea banyak menggambarkan perasaannya lewat lagu-lagu “bule”. Familiar bagi penulis, tidak bagi pembaca. Andai perasaan Shea digambarkan lewat lagu “Alosi Ripolo Dua” atau “Engkalingani Daengku” milik Tenri Ukke, pasti menggairahkan. Para penikmat pete-pete di Makassar-pun pasti akan merasakan dirinya ada dalam novel ini. Beruntunglah Shea masih mau berbagi kekagumanya pada kota bukit, kota Toli-Toli. Seolah membawa saya menikmati indahnya alam Bulu Dua di perbatan Kabupaten Barru dan Soppeng, Sulawesi Selatan.

Sayang, akhir cerita cinta Shea dapat dengan mudah kutebak. Berbeda dengan akhir cerita cinta Ursa yang belum juga kutemukan, meski telah kubaca dua kali.

Selamat buat Athe’ dan Mhimi. Nongolnya Novel ini adalah sebuah Journey, perjalan yang berliku, banyak onaknya banyak juga kayu manisnya, semua itu terekam lewat pesan singkat yang juga mengalami journey dari Makassar dan Jogjakarta, pulang pergi. Terima kasih atas dua buku si Journey-nya.

Maaf atas sok tau’ku ini, semoga foto kemanakanta (dengan kualitas parah karena kameraku rusak) plus Journey diatas mampu mewakili hiba maafku.  
==============================
Batas Timur Perkotaan Yogyakarta, 5 Maret 2012
Saya yang lagi butuh NOVEL SELERA KAMPUNG

2 comments for "JOURNEY! KUBUTUH SELERA KAMPUNG"

  1. Baca novel Kak Mira Pasolong .. Singgasana tak Bertuah kak, melo banget :(

    http://linguafranca.info/

    ReplyDelete