Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JEMPA-JEMPA, G-STRINGNYA ORANG BUGIS

Hingga awal bulan Maret 2012, Komite Nasional Perempuan Mahardika mencatat sedikitnya terjadi 4.845 kasus pemerkosaan terjadi di Indonesia. Data ini adalah indikasi betapa riskannya posisi perempuan di Indonesia, seiring upaya mereka untuk mendapatkan kesetaraan perlakuan dalam segala lini kehidupan, momok berupa pelecehan seksual juga menghantui mereka. Momok tersebut juga menjadi hantu bagi para orang tua yang memiliki anak perempuan. Bukan hanya itu kaum suamipun kini sudah mulai ketakutan jika istrinya juga menjadi korban pemerkosaan. Sekedar wejangan untuk berhati-hati bagi kaum perempuan rupanya kini tak cukup, momok pelecehan hingga pemerkosaan masih terus mengintai mereka bahkan di tempat umum sekalipun, angkutan kota dan kereta api misalnya.

Meski belum terwujud, telah banyak kalangan yang mulai memikirkan upaya mengadakan alat yang mampu menjadi pelindung bagi kaum wanita. Banyak yang bernostalgia pada jaman perang salib yang kesohor dengan celana dalam berpengaman gemboknya. Bahkan telah adapula upaya untuk membuat celana dalam berpengaman kata kunci (password) berbasis tekhnologi. Apapun itu, semuanya hanyalah sebuah upaya, yang masing-masing tentu ada kelemahannya. Toh pelecehan seksual tidaklah semata hanya pada tataran perlakuan alat kelamin! Kasus pemerkosaan tidak hanya identik kaum pria melakukannya kepada kaum perempuan, bisa jadi terjadi sebaliknya atau justru terjadi antar sesama jenis kelamin. Inilah kegilaan dunia yang harus kita hadapi di zaman gila ini.

Kembali bernostalgia, kembali ke masa lalu leluhur Nusantara. Ternyata pengaman serupa telah ada jauh sebelum kita mengenal celana dalam atau g-string pada jaman sekarang. Sebagaimana ditulis ulang Julianto Susantio (hurahura.wordpress.com) berdasarkan artikel Majalah Intisari (Susahnya Selingkuh di Zaman Majapahit) edisi Maret 2011 yang bersumber dari Koleksi Museum Nasional Jakarta. Di tanah Aceh masyarakat setempat mengenal Cupeng. Cupeng berfungsi sebagai penutup kelamin anak perempuan. Berbentuk pola hati, dipasang dengan cara diikat dengan benang pada perut si anak. Salah satu artefak yang menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta berbahan emas 22 karat, berukuran tinggi 6,5 cm dan lebar 5,8 cm. Sarat akan ukiran dengan pinggiran bermotif tapak jalak, bagian tengah bermotif bunga teratai dan bermatakan jakut merah. Bunga teratai dikelilingi deretan bunga bertajuk empat helai dalam bentuk belah ketupat. Di tanah Jawa, pada jaman Majapahit dikenal Badong, serupa dengan Cupeng dengan relief cerita Sri Tanjung sebagai motif hiasannya.  Sebuah kisah tentang wanita suci yang dituduh berselingkuh oleh suaminya dan akan dibunuh. Namun, sebelum dibunuh datanglah Dewi Durga menolong Sri Tanjung lengkap dengan bekal seekor "gajamina" (ikan gajah) sebagai kendaraan bagi Sri Tanjung untuk menyeberangi sungai dunia bawah menuju surga. Imbalan atas kesuciannya.

Jauh melempar sauh, berlabuh di daratan tanah Bugis-Makassar. Pengaman serupa ternyata juga ada, barang tersebut disebut Jempa-Jempa (Bugis) atau Jempang (Makassar). Pada makalah Saptodewo (The Material Culture of South Sulawesi) dalam Sulawesi and Beyond, The Frantisek Czurda Collection (2010) disebutkan bahwa jempa-jempa adalah sebilah bentuk hati sebesar telapak tangan berbahan batok kelapa atau logam dengan ukiran berbahan emas atau perak.

Jempa-jempa sepintas mirip dengan g-string pada jaman sekarang. Bagian utamanya hanyalah sebilah tempurung kelapa atau lempengan logam yang dibentuk sedemikian rupa untuk menutupi kemaluan perempuan dari depan. Pada bagian atas terdapat dua buah lubang tempat memasukkan benang sebagai pengikat yang dililitkan dan diikat pada pinggang pemakai. Pada perkembangannya jempa-jempa mengalami peruban bentuk dan fungsi. Pada masa penumpasan gerakan DII/TII di Sulawesi Selatan oleh Tentara Indonesia sebagaimana penuturan I Sanabe[1], kala ia memakai jempa-jempa dengan tali yang terbuat simpe (plat seng) dengan dua ujung yang masing-masing memiliki lubang untuk memasukkan gembok.

Kini, jempa-jempa sudah tak lagi dipakai, bahkan mungkin tak adalagi yang menyimpannya. Telah berganti dengan celana dalam aneka model dan warna atau berganti g-string yang super kecil tapi berharga mahal. Meski demikian ia tak sepenuhnya hilang, sisa-sisa glamornya masih tersimpang dalam modifikasi hiasan celana dalam kaum berduit. Menjadi simbol strata sosial dan ekonomi dengan balutan gengsi dan harga diri, setidaknya di daratan Eropa, bukan di tanah Sulawesi Selatan. Semoga saja tidak.


Kembali ke nostalgia tentang jempa-jempa tadi.

Berbeda dengan cupeng atau badong yang berfungsi sebagai penangkal selingkuh para istri bangsawan pada jaman itu, jempa-jempa hanya dipakai oleh perempuan di seluruh daratan Sulawesi Selatan sebagai penutup kemaluan. Dipakai hingga mereka mengalami masa puberitas atau hingga saat mereka menikah. Setelah menikah, tanggung jawab untuk menjaga kehormatan kaum perempuan (baca : istri) berada di tangan suami, bukan lagi tanggung jawab orang tua sang perempuan. Untuk memagari para istrinya dari perselingkuhan, maka para suami memasang “pagar gaib” pada tubuh istrinya, terutama pada organ vitalnya. Jika berani melanggar maka fatal akibatnya. Biasanya pelaku selingkuh (hubungan seksual) tidak sah ini, baik si perempuan mau si pria akan mengalami kram urat vital, sehingga alat vital yang tadinya saling berpanetrasi tidak akan bisa lepas (dicabut) lagi.

Dalam dunia medis, fenomena ini disebut vaginismus. Suatu disfungsi seksual pada perempuan berupa kekejangan abnormal otot vagina sepertiga bagian luar dan sekitar vagina. Tingkat kekejangan yang terjadi tidak sama pada setiap orang. Vaginismus seakan-akan merupakan reaksi penolakan terhadap hubungan seksual, bahkan terhadap setiap sentuhan pada kelamin. Kedua pelaku dengan alat kelamin yang telah dempet tadi hanya dapat dipisahkan dengan cara memotong alat vital si pria, itu jika ada ruang yang memungkin untuk melakukan pemotongan. Mau coba?

Bagaimana cara pria Bugis membuat pagar gaib tersebut? Pagar tersebut dipasang dengan rapalan matra berbunyi “engkatu ndi fetti utaro ri liwurenta, pura ugongcingtu”.




[1] Nenek Buyut Penulis, usia tidak diketahui namun diyakini saat meninggal usaianya lebih dari 120 tahun, terakhir berdomisili di Dusun Mellengnge, Desa Cinnongtabi, Kec. Majauleng, Kab. Wajo, Sulawesi Selatan.


LUANGKAN WAKTU ANDA KE