Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Anakku, Kubeli Bola Itu dengan Air Mata

Saya lupa persisnya ini terjadi kapan. Yang masih terekam di ingatanku, hari itu hari Sabtu, akhir pekan. Pagi itu, Rafi anak semata wayangku merengek ikut aku, ikut ke kantor. “Ayah, ikut yah, Rafi mau kerja bakti sama mbah Raji” pintanya sambil menyebut salah satu nama staff keamanan di kantorku, sahabat karibnya mungkin seperti itu yang ia rasakan. Sosok Mbah Raji memang sangat “momong” apalagi terhadap anak kecil. Kedekatan itu kian terasa setelah dua minggu sebelumnya Rafi dan Mbah Raji asik berpeluh keringat saat kerja bakti. Kebetulan tiap akhir pekan, di kantor kami selalu digalakkan kerja bakti. Apalagi minggu ini, kerja bakti jadi lebih lama dari biasanya, minggu depan Kampus tempat aku bekerja akan kedatangan tim Akreditasi. Kerja bakti inilah yang disukai Rafi, ia bisa bermain bebas dan berkotor-kotor ria. Naluri seorang anak tentunya.

Jam 14.30, selepas rehat, kerja baktipun kelar. Rafi segera kusuapi agar perutnya tak keroncongan, setelah itu kumandikan dan berganti pakaian. Sebelum kuajak pulang, ia terlebih dahulu pamit ke semua staff di kantor, satu per satu ia pamiti. Selanjutnya dengan motor pitung tuaku kami beranjak pulang, menuju rumah kontrakan kami di bilangan Bangutapan Bantul Yogyakarta.

Selepas dari pertigaan Colombo jalan Gejayan Yogyakarta, tepat di depan pasar Demangan Yogyakarta, tiba-tiba Rafi merengek “Ayah, katanya mau beliin Bola belang-belang”.

Waduh! Rupanya janjiku sepekan lalu membekas di benaknya.

Sepekan lalu kala nonton bola di lapangan bola dekat rumah, Rafi menyatakan keinginannya untuk memiliki bola karet dengan motif kotak trapezium yang berselang-seling, itulah yang disebutnya sebagai bola belang-belang. Kala itu saya memang menjajikan untuk membelikannya. Sayang saya lupa, sampai ia menagihnya.

Akhirnya, agenda untuk segera pulang ke rumah dialihkan berputar seatero area Timur kota Yogyakarta, mencari bola belang-belang tersebut. Dari 6 toko alat olahraga dan 8 toko mainan anak yang kami sambangi, tak satupun yang menyediakan bola tersebut, kalah dengan maraknya bola bermotif sekelas Fevernova dan Jabulani. Gurat kecewapun tampak di wajah Rafi. Hemmm, jadi serbasalah.

“Duh, gak adae dek. Yuk cari disana lagi yuk” menjadi senjata pamungkasku agar Rafi tak menangis kala itu. Ampuh, karena Rafi jadi semangat. Sepanjang jalan yang kami lewati, ia selalu tengok-tengok kiri kanan setiap ada warung kelontong. Matanya nanar menatap sebentuk bola bermotif belang-belang diantara banyaknya bola plastik warna-warni yang tergantung di warung-warung tersebut.

Hampir tiga jam kami berkeliling, memasuki jalanan kampung, gang demi gang, namun bola itu tak jua kami dapati. Perlahan kubujuk Rafi untuk beli bola lainnya, ia tak bergeming. Kusarankan untuk mencari lagi esok hari ia juga tak bergeming, bahkan diam dengan mata berkaca-kaca, hidung kembang kempis, nafasnya sesungukan, dadanya bergelombang naik turun, tanda menahan tangis.

Adzan Magrib sudah berkumandang, sms dari Bundanya sudah dua kali menanyakan keberadaan kami. Masih dengan Rafi yang duduk didepanku sambil berpegangan di dashboard motor, sementara saya terus melemparkan pandangan sisi kiri dan kanan jalan, kali saja bola itu kami dapatkan di detik-detik terakhir pencarian kami dipentang hari ini.


Merasa bersalah dan kecewa karena tak mampu memenuhi pinta anakku, matakupun berkaca-kaca, lahirkan bulir hangat. Makin berkaca kala teringat bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan bola serupa 21 tahun lalu.

Ditengah lamunanku, Rafi berteriak “Ayah, itu ada ayah!” Ia begitu girang bahkan berbalik memukul-mukul wajahku, memastikan aku juga mengikuti arah telunjuknya.

Tepat saat Iqomat Magrib berkumandang, bola itu kubayarkan dengan selembar uang 20 ribu dan selembar uang 5 ribu, 2 lembar uang 2 ribu dan selembar uang seribuan. Meski bola itu telah berkalang debu, Rafi begitu riang menerimanya. Bola yang telah kumasukkan dalam plastik kresek itu dipeluknya sepanjang perjalanan sambil bernyanyi “ye ye ye aku dapat bola belang-belang” atau “aduh, capek aku, muter-muter yah Ayah”. Aku pun bahagia mampu membelikan bola itu, tak terasa air mata haru kembali berbulir di ujung mataku.

Setiba dirumah, saat Rafi masih bermain dengan bolanya di kamar mandi, saya usai tunaikan Shalat Magrib, kutuliskanlah bait-bait berikut ini;


Seingat ayah, 
ini adalah bola besar ke 5 yang pernah nanda miliki.
Kali ini nanda dapat bola karet, “bola belang-belang” begitu sebutmu. 
Bola yang kau dapatkan setelah seharian merengek.

Anakku...
Tahukah engkau, bola serupa dengan ukuran lebih kecil
ayah dapatkan pada usia 12 tahun, setelah merengek hampir 2 bulan.


Ayah dapatkan dari nenekmu setelah membayarnya
dengan memikul berpuluh buah nangka matang, belasan tandan pisang, 
ribuan buah kelor dan entah berapa ikat sayuran kangkung, daun singkong juga 
lipatan daun pisang.

Sebongkah buah nangka seukuran sekali pelukanmu dibarter dengan bola itu.

Ingin rasanya, cara itu kuterapkan padamu anakku.
Tapi sungguh, hati kecilku tak tega.

Maafkan ayahmu anakku.

Post a Comment for "Anakku, Kubeli Bola Itu dengan Air Mata"