Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Para Perantau; Tukang Parkir

Sebagian orang Bugis Makassar merasa gengsi ketika berada di tengah lingkungan sendiri mungkin karena pertimbangan strata, berbeda ketika mereka jauh alias berada di rantauan. Adalah Musyarif, laki-laki berdarah campuran Bugis Makassar yang hampir dua puluh tahun terakhir ini berkeluarga dan menetap di Jogjakarta. Baginya tidak ada kata gengsi untuk mencari rezeki halal. Pribadinya telah lama ditempa, berawal dari didikan hidup mandiri yang diajarkan orang tuanya, hingga pengalaman hidup yang cukup keras. Sejak usia belia, ia dikenal nakal, suka berkelahi, dan berpetualang. Pribadinya yang tidak suka dijajah dan dipalaki teman-teman sepulang sekolah juga telah sukses membawanya ke ruang tahanan. Namun siapa sangka, pengalaman itu mematangkan pola pikir untuk masa depan yang lebih baik. Selepas dari tahanan, ia mengadu nasib ke beberapa kota termasuk ke Ibu Kota Jakarta. Tidak cukup lama ia di Jakarta, kota yang telah membawanya dalam kenikmatan sesaat dari mengisap ganja. Ia pun ke Semarang dan bekerja pada sebuah perusahaan rokok yaitu perusahaan rokok Pentoel.

Nasib yang kurang mujur menimpa. Setelah cukup lama bekerja, ia terpaksa harus pensiun dini lantaran persoalan merger. Ketika itu perusahaan rokok Pentoel dibeli oleh perusahaan Rokok Ardat. PHK ini pula yang membawanya ke Jogja. Demi menyambung hidup ia pun kerja serabutan menjadi loper kertas bekas dan mengumpulkan kemasan botol dan gelas akua untuk dijual kembali. PRAMITA laboratorium dan CAFÉ COKLAT yang terletak di bilangan Jl. Cikditiro sekitar limaratus meter dari bundaran kampus ternama UGM menjadi pundi-pundi rupiah kala itu. Dari upayanya ini ia mendapat enam ratus rupiah dari setiap kelipatan satuan kilo gramnya.

Jika masih lajang, penghasilan akan susah untuk dikumpulkan. Kalimat ini nampaknya diamini pula oleh laki-laki yang akrab dipanggil Mus ini. “Dapat duit dari hasil kerjaan dihabiskan di tempat”. Membina keluarga dengan memperistrikan perempuan Jawa asli Jogja memberikan tanggung jawab tersendiri tidak hanya terhadap dirinya seorang, terlebih ketika telah dikarunia dua anak. Ia bertekad kedua anaknya harus mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik dari dirinya. Harapan dan cita terhadap keluarganya itu semakin mengentalkan semangat dan juangnya.

Di temui di tempat kerjanya di taman parkiran Mirota Kampus, salah satu tempat perbelanjaan di kota Yogyakarta, Mus yang kini di usia empat puluh dua tahun menyambut dengan antusias. Siang itu adalah pertemuan yang sangat singkat. Hanya ada ice breaking di tengah kesibukan di shift siangnya itu. Malam harinya di sebuah kafe yang terletak di samping lokasi parkir tempat ia bekerja, kami melanjutkan perbincangan yang tertunda selama enam jam itu. Laki-laki dengan tinggi badan sekitar 170m  tampil rapi dengan ham lengan pendek kotak berwarna biru gelap dengan celana panjang kain berwarna hitam. Tidak dengan celana Jins seperti yang kerap dikenakannya pada jam-jam shiftnya.

 “Darah saya Bugis Makassar tapi kalau persoalan pekerjaan saya tidak gengsi, asalkan pekerjaan itu halal”




Di sela suara house music dan suara bising kendaraan dari jalan raya yang terpaut beberapa meter saja dari kursi tempat duduk kami, Mus berbagi cerita tentang jasa antar galon dan laundri yang ia tekuni. Tempat tinggalnya yang tidak jauh dengan lokasi kos-kosan mahasiswa lah yang membuatnya berpikir untuk menyediakan layanan air minum galon. Baginya usaha ini cukup menjanjikan, dari  awalnya ia hanya memiliki satu galon dan kini jumlah itu bertambah menjadi dua puluh lima buah galon. Selain layanan antar galon, di rumah tinggalnya yang beralamat di Terban GK V/306 ia juga memiliki satu unit mesin cuci untuk usaha laundri yang meraup dua puluh kilo perhari. Meski penghasilan yang diperolehnya tidak besar, ia masih bisa menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung selain yang habis untuk untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya pendidikan kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. “Saya tidak ingin seumur hidup saya hanya di parkiran. Besok Insya Allah jika tabungan saya sudah cukup, saya ingin membuka warung makan Ikan Bakar di Jogja”.

Masih dengan iringan house music yang sedikit terdengar gaduh. Optimisme yang besar makin tersirat di wajah laki-laki dua anak ini. Istrinya yang baru saja bergabung beberapa menit lalu turut menambahi bahwa dirinya telah cukup banyak belajar tentang resep makanan Bugis Makassar, “Coto, Sop Saudara, Jalangkote, saya sudah bisa buat”, ungkapnya. Terakhir ketika turut pulang ke Makassar, kesempatan itupun digunakannya untuk banyak belajar masakan lainnya pada sanak keluarga suaminya. Menyambung perkataan sang istri, Mus yang baru saja menghabiskan satu batang rokok mengemukakan niat dan harapannya, kelak ia pun bisa membuka warung makan yang sama di Makassar. Jiwa petualang yang membawanya menjajaki beberapa kota di pulau Jawa hingga akhirnya menetap di Jogja tidak sedikit mempengaruhi keterikatan batinnya akan Butta Mangkasara. Tiap dua tahun, ia selalu menyepatkan diri untuk pulang dan bertemu dengan sanak keluarga besarnya.

Kini ia masih menekuni usaha-usahanya itu di samping mengelola satu lagi usaha laundrian di daerah Gejayan. Milik anak orang Kalimantan yang telah dikenalnya selama delapan tahun di perantauan. Dunia parkiran yang menjadi bagian dari kesehariaannya juga diperolehnya dari kehidupan bermasyarakat di daerah tempat inggalnya. Pribadi yang ramah, dan jiwa sosial yang tinggi menjadikannya mudah bergaul dan mendapat kepercayaan dari warga setempat hingga ia pun ditawari untuk bekerja di parkiran mirota. Ketika ditanya tentang pengalamannya selama di dunia parkir, ia bercerita bahwa dirinya kerap memunculkan sikap tegas terhadap pengujung yang kadang tidak taat aturan. Baginya, menjadi bagian dari perparkiran adalah kerja tanggung jawab penuh. Ia pun bercerita bahwa sistem perparkiran yang dijalankan di mirota kampus itu berbeda dengan beberapa tempat parkir lainnya.

Ia mengakui, jiwa semangat dan kerja kerasnya itu adalah bawaan yang diperolehnya dari keluarga yang selalu mengajarinya arti hidup mandiri dan konsisten dalam hidup.
***

Oleh : Wardah