Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Diaspora Bugis Makassar ke Segala Ujung Dunia

Oleh : Mansyur (Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat)

Diaspora dan atau migrasi adalah sebuah peristiwa yang menjurus menjadi sebauh fenomena dan banyak dijumpai dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia. Salah satu fenomena yang paling menonjol dalam sejarah diaspora di kepulauan Indonesia adalah diaspora suku bangsa Bugis sejak abad ke-17. Orang-orang Bugis membangun koloni-koloni di Kalimantan bagian timur, dan di Kalimantan bagian tenggara Pontianak. Semenanjung Melayu khususnya di barat daya Johor dan di wilayah lainnya. Dari beberapa koloni tersebut, orang Bugis mengembangkan pelayaran, perdagangan, perikanan, pertanian, dan pembukaan lahan perkebunan. Kemampuan menyesuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan orang Bugis dapat bertahan selama berabad-abad. Menariknya, walau mereka terus menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya, orang Bugis tetapmampumempertahankan identitas ke Bugis an mereka.

Kajian tentang diaspora suku Bugis ke daerah lain yang mulai berlangsung sekitar abad ke-17 marak dikaji sejarawan dan peneliti dengan tema beragam. Umumnya mereka menitik beratkan pada tinjauan diaspora politik dan latar belakang nya yang melibatkan para bangsawan atau golongan raja. Kemudian, membahas bagaimana adaptasi orang Bugis untuk survival di daerah lain, serta dampak diaspora bagi perkembangan suatu kawasan.3 Karya-karya tersebut memang bervariasi. Tetapi, kajiannya cenderung hanya membahas tentang diaspora Bugis dari abad ke-17 sampai abad ke-18 dan fokusnya hanya di daerah-daerah tertentu seperti di Semenanjung Malaya, daerah pesisir Jawa dan Sumatera. Sementara itu, diaspora orang Bugis di wilayah Borneo (Kalimantan) bagian selatan dan timur khususnya di wilayah Tanah Bumbu, seakan belum tersentuh.

Demikian halnya dalam kerangka tempora. Permasalahan kontinuitas diaspora Bugis pada abad ke-19 dan ke- 20, sangat jarang dikaji oleh peneliti. Selain itu, pembahasan tentang dampak diaspora dan ekspansi perdagangan orang Bugis (expansion of Bugis trade) juga masih luput dari perhatian. Berdasarkan pada kondisi itu, kajian ini mencoba menguraikan diaspora dan migrasi suku Bugis di daerah migran yaitu wilayah Tanah Bumbu, Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur tahun 1842-1942. Karena itulah diaspora Bugis lebih berhasil, karna disebabkan oleh situasi historis dan keunikan orang-orang Bugis untuk melakukan pembaharuan. Orang Bugis menjadi kelompok diaspora yang mapan di dunia Melayu dan pantai timur Sumatra.

Latar belakang diaspora, awal orang-orang Bugis ke daerah lain di Nusantara hingga ke Semenanjung Malaya serta wilayah Asia Tenggara lainnya adalah adanya semangat untuk merantau. Orang-orang Bugis selalu berupaya mencari tempat yang dianggap layak bagi dirinya untuk tinggal, bekerja, bermasyarakat dan lain-lain. Selama hal tersebut belum dicapai, perantauan tidak akan pernah berakhir. Perantauan orang Bugis ini juga dimotivasi budaya siri yang menjadi pandangan hidup orang Bugis Dinamika diaspora Bugis ini turut diwarnai peristiwa jatuhnya Makassar ke tangan Belanda pada tahun 1667.

Migrasi orang orang Bugis meningkat di tahun-tahun berikutnya ke berbagai wilayah di Asia Tenggara. Penyebab gerakan migrasi ini adalah pembatasan komersial ketat yang dipaksakan Belanda terhadap perdagangan Makassar, hasil dari arus perpindahan penduduk dari Sulawesi Selatan. Terdapat koloni-koloni orang Bugis di Kalimantan Timur, dekat Samarinda dan Pasir; di tenggara Kalimantan, Pontianak Semenanjung Melayu, khususnya di barat daya Johor dan di wilayah lainnya di Nusantara. Kesinambungan diaspora orang Bugis yang berlangsung hingga abad ke-19 dan ke-20, terpelihara berkat peranan pelayaran dan perdagangan Bugis. Korelasi antara pelayaran dan perdagangan dengan arus migrasi orang orang Bugis, terjadi di hampir semua daerah koloni Bugis di wilayah Hindia Belanda dan semenanjung Melayu. Sebagaimana fenomena diaspora orang Bugis di wilayah Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur, khususnya pada tahun 1842 hingga tahun 1942-an.

Tahun 1667 ditandatangani perjanjian Bongaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili Laksamana Cornelis Speelman. Walaupun disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di Pelabuhan Makassar yang dikuasai Gowa. Dampak dari diaspora Bugis sejak abad ke-18 hingga abad ke-20 terwujud pada terbentuknya pemerintahan Bugis atau to-Ugi’8 Pagatan tahun 1735 yang berkembang sejak tahun 1842-an. Pemukiman yang dibangun orang-orang Bugis tahun 1735 hingga tahun 1800 menjadi embrio dari perkembangan jaringan diaspora dan perdagangan perahu layar Bugis antar pulau pada tahun 1850-an. Selanjutnya, tradisi maritim to-Ugi’ seperti pappagattang, mappanretasi’ dan industri pembuatan perahu Bugis tahun 1920-an. Kemudian pembukaan kampung-kampung nelayan Bugis di wilayah Pagatan tahun 1920, strategi adaptasi ekonomi to-Ugi’ serta terbentuknya jaringan perikanan ponggawa Bugis tahun 1930. Dalam perkembangannya hingga abad ke-20, kerajaan ini menjadi “homebase” migran Bugis di Kalimantan bagian tenggara dan timur. Dalam bidang ekonomi, mereka mengembangkan bidang perdagangan, pertanian, perkebunan dan perikanan.

Fakta yang paling signifikan yang mendukung terjadinya migrasi Bugis ke daerah lain dalam empat dekade pertama abad ke-20 adalah “ekspor” padi, dan komoditas karet dan tanaman lainnya seperti kopra. Sebagian besar migran Bugis ke Kalimantan dan Semenanjung Malaya terlibat dalam penanaman karet atau lebih sering dalam penanaman kelapa untuk kopra. Tanaman perkebunan ini cocok dan hampir sama dengan produksi pertanian di Sulawesi Selatan. Selain itu, dalam bidang kelautan orang Bugis yang ber-diaspora ke wilayah tanah bumbu juga membawa budaya maritim-nya.

Arus migrasi di wilayah itu makin berkembang seiring dengan dilaluinya jalur Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur (Pelabuhan Stagen, Kotabaru) oleh armada Netherlands Indies Steams Navigation (NISN) pada tahun 1888 dan armada Koninklijk Paketvaart Maatshappij (KPM) milik pemerintah Hindia Belanda tahun 1900-an. Secara tidak langsung, keberadaan armada NISN maupun KPM memang mengakibatkan makin menurunnya jumlah dan kapasitas perahu yang singgah di pelabuhan-pelabuhan utama Nusantara, dengan perkecualian pelabuhan Makassar. Meskipun demikian, keberadaan armada KPM tidak serta merta mematikan peranan perahu layar orang Bugis. Pelayaran perahu rakyat ini malah menjadi salah satu armada transportasi pembantu atau feeder vessels.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tesis ini mengkaji dua permasalahan utama. Pertama, apakah hubungan diaspora orang-
orang Bugis dengan terbentuknya jaringan diaspora dan “daerah otonom” Bugis di wilayah Tanah Bumbu, Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur dalam kurun waktu tahun 1842-1942. Permasalahan ini berkaitan dengan latar belakang diaspora suku bangsa Bugis ke Borneo (Kalimantan), “embrio” terbentuknya komunitas Bugis hingga terbentuknya kesatuan masyarakat Bugis yang lebih besar atau “daerah otonom” yakni kerajaan Bugis Pagatan di landskap/wilayah Tanah Bumbu. Kemudian permasalahan ini juga berkaitan dengan dinamika Kerajaan Bugis Pagatan (aspek politik, pelayaran dan perdagangan) dalam kurun waktu tahun 1842-1900. Permasalahan kedua, mengapa orang-orang Bugis bisa mempertahankan “kontinuitas” diaspora di wilayah Tanah Bumbu, Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur sejak tahun 1842 hingga tahun 1942. Dalam hal ini, berhubungan dengan faktor faktor yang menyebabkan “terpeliharanya” diaspora Bugis hingga tahun 1942.




Post a Comment for "Diaspora Bugis Makassar ke Segala Ujung Dunia"