Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Transformasi Kearifan Lokal Bugis - Wajo dan Nilai Perjuangan Tokoh-Tokoh Asal Wajo

Transformasi Kearifan Lokal Bugis - Wajo dan Nilai Perjuangan Tokoh-Tokoh Asal Wajo

Oleh Suryadin Laoddang
[Materi ini disusun untuk acara LISE di Keluarga Pelajar Mahasiswa Wajo (KEPMAWA) Yogyakarta]


Kearifan lokal di Tanah Wajo

Kearifan lokal, atau dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat "local wisdom" atau pengetahuan setempat "local knowledge" atau kecerdasan setempat "local genious, merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat kepermukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Jero Wacik, mengatakan, kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara, seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.

Dalam ranah Antopologi dan Sosiologi, banyak dipaparkan bahwa terjalinnya hubungan antar manusia dan masyarakat, banyak dipengaruhi oleh norma-norma yang lahir dari kearifan local yang dimiliki dan berlaku dalam masyarakat tersebut. Selain berupa norma, kearifan local juga dapat berupa adat istiadat, pranata sosial dan  kepercayaan.    

Salah satu suku yang masih bertahan dan bahkan menyebar dan kukuh berkembang keluar Indonesia adalah suku Bugis. Dengan Populasi terbesar di Pulau Sulawesi dan berpusat di Sulawesi Selatan, orang Bugis selain tersebar keseluruh penjuru dunia, juga memiliki keunikan lain, yakni memiliki etnis yang beragam, salah satunya dan Suku Bugis etnis Wajo.

Wajo yang secara administratif  bernama Kabupaten Wajo, dulunya adalah sebuah Kerajaan Bugis yang memiliki pengaruh pada kerajaan lain seperti sebagian Kerajaan Bone dan Soppeng bagian utara, Kerajaan Sidrap, sebagaian wilayah Sawitto (sekarang Kab. Pinrang), sebagaian wilayah Massenreng Pulu (sekarang Enrekang), sebagian wilayah Luwu (daerah Larompong). Pengaruh dan hubungan diplomatik kerajaan Wajo, juga dapat ditemui jejaknya di Semanjung Malaka seperti Malaysia, Singapur, Kamboja, Myammar, Banglades, Brunei Darusalam, atau di Kalimantan serta di Sumatera bagian Utara.

Sejak muncul kerajaan Cinnongtabi yang menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Wajo. Setidaknya, kerajaan Wajo telah dipimping oleh 53 Orang Arung/Batara/Arung Matoa (baca :Raja), ditambah dengan kronik sejarah yang sangat panjang, maka lahirlah berbagai macam kearifan lokal yang berlaku dan terjadi di masyarakat Bugis Wajo. Dalam catatan sejarah dan perkembangan selanjutnya banyak aspek dari kearifan lokal tersebut yang justru mendahului konsep pranata sosial modern, bahkan menjadi acuan pranata sosial di Indonesia, dunia barat dan dunia internasional. Diantara kearifan lokal dimaksud adalah sebagai berikut :

A. Demokrasi

Demokrasi didunia barat awalnya hanya dikenal sebagai sebuah hukum demokrasi di Yunani pada abad ke-V, namun baru diterapkan pada Abad ke-18 di Inggris. Sementara di Indonesia istilah demokrasi pertama kali dicetuskan pada tahun 1945, namun baru diterapkan pada Pemilu 1956. Sementara menurut Lontara Sukkuna Wajo, karangan Andi Paramata, kerajaan Wajo sudah mengenal konsep dewan perwakilan/pemerintahan pusat yang beranggotakan 40 orang, yang lasim disebut Arung Patangpuloe, yang terdiri dari 3 ranreng, 3 bate lompo, 3 orang punggawa ina tau, 30 orang arung mabbicara, dan 1 orang Arung Matoa itu sendiri.

Selain itu masih ada Arung Simentengpola/Bettengpola sebagai wakil rakyat, pembela hak-hak rakyat, juru bicara Wajo yang untuk dan atas nama rakyat Wajo bias mengangkat dan memecat Arung Matoa, dan berwenang untuk mengisi jabatan Arung Matoa jika lowong. Masih adapula Petta Ennengnge (Dewan yang enam Orang), yang  berfungksi sebagai Dewan Pelaksana Harian pemerintahan Pusat (sederajat dengan menteri kabinet saat ini). Kesemua formasi tatanan tersebut diperkenalkan dan diterapkan pada masa pemerintahan Lataddampare Puangrimaggalatung, Arung Matoa Wajo ke-XXXI.

B. Emansipasi

Pada tanggal 6-Oktober 1789, terjadi aksi demonstrasi di Prancis yang dilakukan oleh kaum ibu rumah tangga yang menuntut kesetaraan jender,  inilah tonggak emansipasi di dunia barat. Di Indonesia kesadaran jender pertama kali diperjuangkan oleh seorang RA. Kartini yang lahir pada tahun 1879.

Dalam kronik sejarah Kerajaan Wajo, bahwa sebelum Kerajaan Wajo berdiri pada abad XIV,  kerajaan Cinnotabi pernah dipimpim oleh seorang perempuan bernama I Pannangareng bergelar Arung Cinnotabi I, yang kemudian digantikan oleh putrinya I Tenrisiu.  Pada cerita lain, sebelum Islam masuk di Wajo, pada abad XV adalah We Taddampali (Arung Masala Uli’e) diangkat sebagai Inanna Limpo’e (Ibu Negeri atau Wakil Rakyat). Yang lebih tua lagi berkisar pada abad IX – X, adalah We Cudai, permaisuri dari Sawerigadin Opunna … Were adalah Datu ke-II dari Kerajaan Cina (Cina – Ji’ Pammana – sekarang menjadi wilayah Kab. Bone).  

C. Filosofi Kepemimpinan

Ki Hajar Dewantara, pahlawan nasional sekaligus pendiri taman pendidikan Taman Siswa, lahir pada tahun 1889. Salah satu warisannya adalah filosifi kepemimpinan, “Tut Wuri Handayani, Ing  Madya Mangunkarsi, Ing Ngarso Suntulodo”, bahwa pemimpin itu “ketika didepan ia menuntun, ditengah ia membimbing dan dibelakang ia mengarahkan”.

Dalam filosofi kepemimpinan Bugis Wajo, dalam sebuah galigo  ada ungkapan “monriyolo patiroangngi, monri tengnga paraga-ragai, monri onri paampi’i”. Arti ungkapan galigo ini sama persis dengan filosofi kepemimpinan Jawa ala Ki Hajar Dewantara. Dalam kronik Ke-Batara-an (Kerajaan) Wajo, filosofi ini muncul pada masa kepemimpinan Arung Matoa Wajo IV La Taddampare Puang Rimaggalatung yang memimpin antara tahun 1491-1521. Pertanyaannya, siapa meniru siapa ? atau siapa yang lebih dulu ?

Kearifan nilai perjuangan tokoh-tokoh Wajo

Diantara puluhan tokoh-tokoh yang pernah memimpin kerajaan Wajo, banyak diantara mereka yang melegenda, dan dikenal banyak meninggalkan warisan-warisan kearifan lokal, nasional bahkan internasional. Diantara meraka adalah :

A. La Maddukelleng

Arung Matoa Wajo ke-31 (1736-1754), hidup antara tahun 1699-1765, adalah putra dari Petta La Mataesso To Maddettia (Arung Peneki) dan Petta We Tenriampareng (Arung Singkang), juga masih keturunan dari La Taddampare Puangrimggalatung Arung Matoa Wajo ke-4.

Sebelum dilantik menjadi Arung Matoa Wajo ke-31 ditengah medan perang Caccae (daerah Lajana, Paria) pada tanggal 6 November 1736, beliau juga pernah menjadi Sultan Kerajaan Pasir (Kalimantan Timur) pada tahun 1726-1736. Selepas menjabat sebagai Arung Matoa Wajo, beliau secara bergantian juga masih dipercaya menjadi Arung Peneki dan Arung Sengkang hingga beliau meninggal pada usia 65 tahun. Atas jasa-jasa dalam melawan penjajah kolonial Belanda sejak tahun 1726 hingga akhir hayatnya beliu kemudian dianugrahi sebagai PAHLAWAN NASIONAL pada tanggal 6 November 1998, tanggal yang sama ketika beliau diangkat menjadi Arung Matoa Wajo ke-31.

Berikut perilaku dan ucapan Lamadukkelleng yang kemudian menjadi khasanah kearifan lokal Bugis Wajo

  1. Natarongen tane’ Alena, pada tahun 1714 beliau mengambil keputusan untuk mengasingkan diri agar rakyat Wajo tidak menjadi bulan-bulan penderitaan akibat pencarian dirinya oleh Raja Bone akibat kasus sabung ayam yang terjadi pada tahun 1713.
  2. Napabokongi Alena, dengan filosofi Tellu Cappa
  3. Naempe Alena, berjuang merebut kembali harta kekayaan saudaranya Daeng Matekko yang dirampas oleh To Pasarai
  4. Naempe sorina to masirina’, ketika beliau berjuang mengembalikan kekuasaan istrinya, Sultan Pasir.
  5. Rela untuk pulang mengabdi dan membebaskan negerinya dari penjajahan, justru pada saat ia semakin besar dan kuat kekuasaannya di Kalimantan

B. La Tenribali

Sosok Latenribali ditanah Wajo lebih dikenal sebagai tokoh yang menyatukan kembali tiga daerah ke-Arung-an yang sebelumnya pecah menjadi satu kerajaan yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Wajo. Latenribali adalah keturunan generasi ke-5 dari pendiri kerajaan Cinnotabi (La Paukke).

Latenribali adalah putra dari Larajallangi To Patiroi dan I Tenrei Siu digantikan lagi oleh putri I Tenrisui. Ketika La Patiroi wafat, maka rakyat Cinnotabi sepakat mengangkat kedua putra beliau yakni La Tenritippe dan La Tenri Bali menjadi raja sekaligus. Dalam perjalannya ternyata La Tenritippe memerintah dengan sewenang-wenang, berkali-kali ia dinasehati oleh saudaranya La Tenribali dan ketiga sepupunya yakni La Matareng (putra La Pawawoi), La Tenritau dan La Tenripekka’ (putra dari La Patongai), sayangnya  La Tenritippe balik memusuhi saudara dan ketiga sepupunya tersebut.

Demi keselamatan diri masing-masing, La Tenribali bermigrasi / sompe  ke daerah Penrang ( saat ini kecamatan Penrang / bukan Kabupaten Pinrang ) dan menjadi Arung disana. Akan halnya dengan sepupu juga bermigrasi kembali kedaerah Boli’ (negeri leluhurnya). Baik La Tenribali dan ketiga sepupunya memerintah negerinya dengan baik sehingga rakyatnya makmur, dalam perjalan daerah Boli’ dibagi tiga oleh ketiga saudara sepupu ini menjadi Majauleng, Sabbangparu, dan Takkalalla.

Dikemudian hari, ketiga saudara sepupu berpikir untuk menggabungkan ketiga kerajaan mereka. Masalahpun muncul, siapakah dari ketiga orang ini yang nantinya akan menjadi raja dari Kerajaan Tellu Kajuru’na Boli yang merupakan nama baru dari unifikasi ketiga kerajaan tersebut. Dengan pertimbangan panjang dan matang akhirnya ketiga raja ini memutuskan mendaulat La Tenri Bali untuk memimpin kerajaan Tellu Kajuru’na Boli bergelar Batara Wajo I yang memerintah pada tahun 1399-1436.

C. Lapatello’ Amanna Gappa

Diantara sekian banyak tokoh Bugis Wajo, nama Lapatello Amanna Gappa adalah nama yang dikenal hingga keberbagai penjuru dunia, terutama dalam dunia kelautan dan perdagangan. Dari tangan Amanna Gappa-lah pada tahun 1676, lahirlah ade alloping-loping, yang didalamnya memuat detil jalur pelayaran, ongkos muatan dan aturan dagang. Dalam perkembangannya Amannagappa sebagai sesepuh sekaligus Matoa ke-3  saudagar Wajo di Makassar (1697-1723), kemudian oleh VOC di benteng Fort Rotterdam beliau diangkat menjadi kepala seluruh  pedagang di Makassar. 

Pusaka kearifan lokal ini kemudian menyebar luas setelah pada tahun 1832 diterbitkan di Singapura dalam terjemahkan bahasa Inggris oleh Ch. Tomsem. Menyusul pada tahun 1961, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanagappa.

D. Lataddampare Puang Rimaggalatung

Tokoh ini adalah tokoh yang sangat berjasa memperluas kekuasaan kerajaan Wajo. Sebagai Arung Matoa Wajo IV yang memerintah pada tahun 1491-1521, beliau dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana, filsuf hokum, dan ahli ekonomi. Hal tersebut berujung pada banyaknya negeri yang kemudian rela bergabung dibawah panji kerajaan Wajo tanpa harus diperangi. Mulai dari Lamuran dan Lanca (Bone), Takkalalla dan Watangsoppeng (Soppeng) dibagian selatan hingga Massenreng Pulu (Enrekang) dan Larompong dibagian Utara, atau Cirowali (Sidrap) dan Suppa (Pinrang) dibagian barat hingga Siwa (Wajo) dibagian Timur. Beliaupulalah yang memperkenalkan dan menerapkan tatanan Arung Pattappuloe, Arung Simentengpola/Bettengpola, Petta Enngengnge, sebuah konsep tatanan demokrasi modern.

E. La Tiringeng Daeng Mangapasa’  

(sayang catatan tentang beliau sangat minim)

Beliau dipercaya pernah membentuk “bank koperasi” yang diberinama Mangga’ Pasa’, yang memberikan pinjaman modal kepada para pedangang yang akan berdagang ke Jawa, Sumatera, Malaka, Kamboja dan daerah lain, dengan jaminan harta tidak bergerak si pemimjam seperti rumah, tanah atau pusaka.

Kesimpulan

Bahwa betul adanya, jika Wajo punya banyak bentuk dan nilai-nilai kearifan lokal yang diterima khalayak luas, baik nasional maupun internasional. Mahakarya para tokohnya juga menjadi rujukan tatanan kehidupan dunia, pemikirannya juga tak kalah dengan pemikir Yunani dan Jawa. 

Sayang...
Kesemua itu hanyalah menjadi barang dan bahan nostalgia belaka, hanya diceritakan berulang oleh anak cucu dan pengikutnya. Cerita yang kadang bertambah dan berkurang nilai dan bentuk otentiknya. Belum ada yang secara serius mengupas, mengurai dan mewujud barukannya dalam ranah baca literasi di kawula muda terkini. Paling hebat menjadi bahan penilitian akademis, dengan target memenuhi target capaian pangkat dan legalitas. Setelahnya? Hanya menjadi larikan kalimat dan untaian kata dalam jilid bersampul tebal tapi berdebu di perpustakaan yang tidak terurus dengan layak.


================================================

DAFTAR PUSTAKA

Ambo Enre, Facruddin, Ritumpanna Welerennge, Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Lagaligo, Thesis Doktor, Universitas Indonesia, Jakarta, 1983

Ida Kesuma, Andi, Migrasi dan Orang Bugis, Ombak, Yogyakarta, 2004

Hamid M, Drs, H. Petta La Maddukelleng, Pahlawan Nasional Indonesia, diterbitkan untuk Dinas Pendidikan Kabupaten Wajo, Sengkang, 2002

Mukhlis, (Ed), 1986, Dinamika Bugis Makassar, diterbitkan untuk Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan JISS, Ujung Pandang, 1986

Munir Maulana, SH, Andi, La Maddukelleng, Sultan Pasir, Arung Peneki, Arung Sengkang, Arung Matoa Wajo XXXI, Lamacca Press, Makassar, 2003

Rahim, Prof. DR. H. A, Nilai-nilai utama kebudayaan Bugis, UNHAS Press, Ujung Pandang, 1992

Zainal Abidin, Prof. Dr., Andi, Wajo Abad XV-XVI Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan Dari Lontara, Penerbit Alumni, Bandung, 1983

Zainal Abidin, Prof. Dr., Andi, Capita Selecta Kebudayaan Sul-Sel, UNHAS Press, Ujung Pandang, 1999

……………….., Sprit Of Wajo, diterbitkan untuk Badan Perencanaan Pembangungan Daerah Wajo dan Yayasan Penamas, Sengkang, 2002.  

Post a Comment for "Transformasi Kearifan Lokal Bugis - Wajo dan Nilai Perjuangan Tokoh-Tokoh Asal Wajo"