Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pustaka Bugis : Menangih Karya Tulis Ulama Sulawesi Selatan

Meliuk-liukkan pena di atas kertas hingga berbuah kitab adalah salah satu kepiawaian Ulama klasik,  wujud sahih kesuksesan peradaban Islam pada masa silam (tabi’in, salafy, dan post-salafy). Ulama-Ulama sekaliber Syafi’i, Malik, Ahmad, Hambali, Al Suyuthy, Ibnu Sina, Al Farabi, Ibnu Rusyd, Al Gazaly, Ibnu Arabi, Ibnu Al Jauzi hingga An Nawawi, dan masih banyak lagi Ulama penulis yang telah menjadikan Islam jaya dan dikenal sebagai Agama dengan produktifitas buku paling melimpah sejagad.

QS. Al Jumuah ayat 5 menyebutkan, kamatsalilhimaari yahmilu asfaaruu (bagai keledai yang memikul kitab-kitab tebal). Ayat ini menunjukkan adanya fenomena sejuta kitab dalam peradaban Islam zona arab. Meski ayat ini dipahami sebagai amsal Al Quran (perumpamaan dalam Al Quran), namun memiliki titik fiksi yang jelaskan adanya peradaban menulis yang kuat dari para penyair arab klasik pra Islam hingga para Ulama pasca wafatnya Rasulullah. Al Suyuthi (W. 911 H) misalnya, menelurkan 600 judul kitab, Al Ghazali (W.505 H) 457 judul (versi orientalis 404 judul), An Nawawi (W. 676 H) 115 judul, hingga Syaikh India Maulana Hakimatul Ummah Asyraf Ali At-Tahanawi (W. 1362 H) dalam usia 81 tahun, beliau telah menulis 1000 judul kitab.

Ulama-ulama dulu menjadikan Islam benar-benar terlelap dalam ninabobo kenikmatan intelektual, baik Islamic studies maupun disiplin ilmu umum. Namun, setelah semua kenikmatan intelektual itu dilahap para pengkaji Islam (baca: murid), mereka terlena dan lupa menulis kembali dan menelurkan karya-karya tulis yang segar. Mereka seakan takut menyaingi para ulama dan Syehnya. Dengan karya itu, mereka merasa cukup dengan menggunakannya sebagai panduan studinya. Paradigma ini menjadikan mereka kurang subur dalam publikasi selama berabad-abad. Hingga kini, dengan alasan sama (ditambah alasan lain), para Ulama telah kekurangan daya menulisnya, termasuk Ulama di Sulawesi selatan yang dikenal dengan kharismanya semerbaknya.

Menilik jumlah publikasi para  Ulama Sulawesi yang dikenal cukup produktif tersebutlah Anre Gurutta (AG.) Haji Muhammad As’ad dari Pesantren As’adiyah, Sengkang misalnya, menelurkan kurang lebih 23 judul. Murid-muridnya seperti AG. Yunus Martan, AG. Abdurrahman Ambo Dalle, AG. Daud Ismail, AG. Lanre Said, AG. Muin Salim, dan AG. Hamzah Manguluang, (sementara AG. Muhammad Abduh Pabbaja dan AG. Muhammad Nur, belum terdata) juga menelurkan beberaap karya. Misalnya, AG. Yunus Martan menelurkan Asshalaatu Imaduddin atau Shalat itu tiang agama (tentang fikih ibadah shalat) yang ditulis tangan dalam lontara Bugis oleh puteranya sendiri AG. Prof. H. Muh. Rafi Yunus Martan. MA, Ph.D (Pimpinan Pesantren As’adiyah, Sengkang), sampai sekarang karya fikih Ulama kharismatik itu masih dibaca dan dicari-cari orang.

Sedangkan muridnya, AG. H. Abdul Ghani menelurkan karya tulis dalam bidang Ilmu Sharaf dan Arudhi yang menjadi konsumsi para santri di Sengkang, Wajo. Pula dengan AG. Ambo Dalle, karya-karyanya dijadikan buku wajib bagi santri di pondok Pesantren DDI (Darudda’wah wal Irsyad) selama puluhan tahun.

Bagaimana dengan Ulama-ulama Sulawesi Selatan yang masih hidup (Thaalallahu hayaatahum) seperti Prof. Dr. AG. H, Farid Wajdi, MA (Mangkoso), AG. Sanusi Baco (MUI), AG. Abunawas Bintang (Sengkang). AG. Muhammad Haritsah (Makassar), AG. Wahab Zakariya (Mangkoso), AG. Makkah Abdullah (Sidrap), AG. Abdul Latif Amien (Bone), KH. Ma’ruf Amien (Soppeng), KH. Abu Bakar Pakka (Gowa), dan beberapa Ulama lainnya?

Sampai sekarang belum terdengar ditelinga adanya karya tulis mereka yang dipublikasikan penerbit dan dilahap khalyak muslim. Barangkali ada, namun dalam skala kalangan terbatas, seperti buku AG. Abunawas Bintang, memiliki karya berjudul Bokong Temmawari, sebuah risalah tanya jawab persoalan Umat Islam di Tana Bugis yang barangkali hanya akan dikonsumsi orang-orang yang paham bahasa Bugis dari warga sekitar Sengkang saja atau karya tentang hukum membaca Barazanji (penulis lupa dengan judulnya karena sudah lama sekali sejak membacanya) yang digawangi oleh Prof. Dr. AG. H, Farid Wajdi, MA (sebelum mendapat Doktor (HC) dan Professor) bersama rekan-rekannya, kini tidak dicetak lagi.

Beberapa diantara mereka hanya mampu menulis sebatas artikel dan semacamnya seperti artikel opini yang tulis AG. Muhammad Haritsah dengan judul ‘Menjaga Warisan Ulama’ di Tribun Timur (29/06/12). Sayang, tulisan semacam inipun terbilang jarang ditemui. Jangan Tanya tentang buku karya mereka yang menjadi konsumsi para santrinya dan khalayak.

Keadaan di atas tergolong darurat dalam dunia intelektualisme Islam. Banyak Ulama yang terpesona dan tergoda bahkan membatasi transfer keilmuaan dan khazanah keislamannya via verbal seperti ceramah di Masjid, seminar kampus, radio, dan TV. Padahal siar semacam ini tidak akan bertahan lama. Akan tergerus pasar berbalut kepentingan popularitas, ekonomi dan politik.

Merujuk kepada kata sahabat Ali ra. ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Maka dipandang sangat perlu seorang Ulama menuliskan ilmu yang ia dapatkan sebagai warisan paling berharga untuk generasi muslim berikutnya. Seperti isyarat Prof. Dr. Yudian Wahyudi, Ulama harus menulis. Maka Ulama kini diharap untuk tidak meninggalkan tradisi para Ulama klasik, meski itu hanya berupa karya yang sangat sederhana. Bukankah kitab Arba’un, karya tipis Imam An Nawawi berupa kumpulan 40 hadits yang ternyata sampai sekarang menjadi santapan sedap yang dicari-cari hampir di seluruh lembaga pendidikan Islam di dunia. (Termasuk mahasiswa jurusan tafsir hadits fakultas ushuluddin UIN Alauddin dan UMI Makassar, serta Mahasantri Ma’had Al Birr Unismuh, dan sebagainya).

Kendala kemampuan mengoperasikan komputer yang minim bukan menjadi alasan untuk tidak mengasilkan karya tulis, Ulama-Ulama Nusantara sepeti Abdul Rauf As Sinkili (1615-1693) dan Syech Yusuf Al Makassari (1626-1699), Abdussamad al-Falimbani (w. 1789), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1879), dan sebagainya tentu menulis dengan pena yang melekat di jari-jari tangannya dan menari-nari di atas kertas. Bahkan para santri tentu senang jika bisa memediasi tulisan tangan Anre Gurunya ke format komputer.

Menulis Adalah Ibadah

Disamping dengan jari dan pena, para Ulama klasik menulis dengan cara mengurangi waktu makan, menulis di pengasingan dan penjara, di waktu sepertiga akhir malam, antara sholat lima waktu, menulis sambil makan, dan dengan bakat kemampuan menulis cepat, seperti Ibnu Taimiyah. Ulama yang menghasilkan sekitar 500 jilid karya tulis itu mampu menulis tentang satu masalah hingga nyaris tak ada batasnya. Ulama dengan banyak talenta disiplin studi Islam ini pula, mampu menulis dua sampai tiga lembar (6 halaman) dalam sekali duduk.

Menulis bukan hanya akan mengkekalkan penulisnya, melainkan karya tulisnya itu akan menjadi warisan paling berberkah dan semerbak intelektual. Ulama Sulawesi Selatan dipandang perlu melirik Ulama-Ulama di pulau Jawa, Ulama-Ulama di Jawa banyak yang menulis karya disiplin pengetahuan Islam yang kemudian dikonsumsi oleh para santri dan bahkan menulis buku-buku yang dilahap oleh masyarakat luas. Meski Sulawesi Selatan dikenal sebagai lumbung Ulama cerdas dan kharismatik, namun kecerdasan ini tidak akan abadi jika tidak dikekalkan dengan pena. Menulis adalah pekerjaan yang tentu melelahkan, tapi itu cuma sejenak, namun menghasilkan keilmuan yang abadi.

Tulisan (opini) ini sebagai penghormatan kepada para Ulama Sulawesi Selatan untuk menjadikan kualitas ummat gemar membaca, tentu karya-karya Ulama Sulawesi Selatan akan membuat ummat penasaran dan membaca karya-karya Ulama yang telah lama dikenalnya tersebut. Karya para Ulama juga akan menjadi sedekah jariyah yang menjadi investasi akhirat tersendiri bagi dirinya.

Menghidupkan kembali minat menulis (ihya al kitabah) para Alim Ulama adalah pekerjaan rumah bagi Ulama juga. Pula peranan penerbit buku lokal untuk mendorong para Ulama Sulawesi Selatan dirasa perlu sebagai motivasi agar Ulama menulis karya. Demikian pula kampus-kampus Islam seperti UIN, UMI, UNISMUH, UIM, dan STAIN barangkali perlu menawarkan metodologi menulis yang mudah bagi para Ulama-ulama Bugis Makassar sebagai upaya meningkatkan kualitas tulisan agar lebih nyaman dibaca. Tak terkecuali bagi Ulama-Ulama muda, baik lulusan Al Azhar Kairo, Sudan, Yaman, Mekah, dan Madinah atau Ma’had Aly, agar melatih kemampuan jurnalistik agar ikut dalam proyek Ihya al kitabah (menghidupkan tulis-menulis) dan melestarikan kembali spirit budaya dan tradisi menulis para Ulama terdahulu yang mulai surut agar Islam kembali mengenggam kejayaannya di bidang Intelektual seperti di Kordova, Mesir, Syiria, dan Bagdad yang dikenal sebagai markaz Ulama penulis yang berpengaruh di dunia Islam.

Untuk tidak mengatakan menagih hutang, maka penulis dengan segala hormat meminta kepada Anre Gurutta agar “melunasi” ketertinggalan Islam yang menghantui ummat dengan energi Qalam.
Kami ingin Sulawesi Selatan kian dikenal sebagai lumbung Ulama Kharismatik. Melahirkan Ulama-Ulama cerdas nan kharismatik yang diakui secara nasional bahkan internasional, melahirkan muballigh nasional/internasional yang juga menjadi dosen sekaligus tokoh masyarakat seperti Prof. KH. Ali Yafy, Prof. Dr. Umar Shihab, Prof. Dr. Quraish Shihab, dan sebagainya. Dimana karya mereka banyak diburu dan dilahap para peminat studi Islam, baik dalam maupun luar negeri.

===

1 comment for "Pustaka Bugis : Menangih Karya Tulis Ulama Sulawesi Selatan"