Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Budaya Bugis : Kaum Feminim Dalam Budaya Bugis

Kaum Feminim Dalam Budaya Bugis

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Fajar
Oleh : Muhammad Nasir

Sederet nama besar seperti Aminah Wadud Muhsin, Ashgar Ali Engineer, Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Nasaruddin Umar, dan sebagainya, lazim dikenal di dunia kajian feminisme dengan usaha mereka menyembelih ternak-ternak paradigma zaman tentang kaum feminin (wanita) lewat karya-karya monumental yang mereka telorkan, bahwa makhluk Tuhan yang bekulit halus ini merupakan sendi kelemahan dan ketidakberdayaan dalam perjalanan hidup umat manusia.

Mereka bahkan berani memasuki wilayah otoritas ahli-ahli agama (baca: Ulama) yang secara doktrin menurut sorotan mereka tersebut telah menempatkan wanita sebagai terbelakang dan sebagai manusia domestik. Padahal agama tidak menghendaki adanya dominasi patriakhi atas wanita secara sepihak. Mereka semua sama di hadapan Tuhan dan mereka berhak mendapatkan makna-makna dunia sebagai tempat persinggahan yang nyaman menuju kehidupan abadi (akhirat).

Bagi sosio-kultural masyarakat bugis, feminisme juga mendapatkan porsi yang cukup dalam tatanan suku yang berasal-muasal dari Sulawesi Selatan ini. Bahkan sejak masuknya Islam pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan yang menggeser nafas Hindu-Budha secara besar-besaran di pulau kawasan Indonesia timur ini. Feminisme bugis mulai menyerap nilai-nilai Islam yang kemudian diejawantahkan dalam sosio-kulturalnya. Jadi Islam, Bugis, dan wanita adalah segitiga bio yang telah membatu dan hidup dalam nafas orang-orang Bugis.

Memang, jika dibandingkan dengan pria, wanita adalah makhluk yang lebih lemah dari segi fisikal. Padahah sesungguhnya, pria ataupun wanita sama-sama tercipta dari setetes air yang hina, perihal otot yang dimiliki pria merupakan lambang kekuatan dalam berkerja dan menafkahi keluarganya. Ditinjau dari sudut sosio-geografis, orang-orang Bugis kebanyakan bekerja sebagai petani, nelayan, dan pedagang, sehingga kaum maskulin (pria) orang Bugis layak mengfungsikan ototnya dan kaum fenimis tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Makanya kaum fenimis lebih cenderung dinafkahi bukan menafkahi. Andaikan orang-orang bugis telah sepenuhnya hidup dalam suasana kota besar dan memiliki lahan pendidikan dengan beragam jurusan, maka kaum feminis Bugis akan banyak yang menjadi wanita karir atau sekurang-kurangnya memiliki pekerjaan untuk nafkah hidupnya.

Demikian pula dalam hal adat melamar/ meminang (Bugis: ade’ ma’duta), bagi sosio-kultural orang bugis, wanita sebagai pihak terlamar, bukan pelamar, hal ini senada dengan nilai-nilai kebudayaan Islam telah teralkulturatif, bahwa prialah yang melamar wanita. Berbeda dengan saudara sebangsa di tanah Minang nan jauh di sana, kaum pria sebagai pihak terlamar, bukan pelamar. Hal ini merupakan tradisi kaum batak asli yang nampak berbeda dengan panggadereng to ogi (kultur orang Bugis) pada khususnya.

Karena teralkulturasi dengan budaya Islam sejak tiga abad yang lalu, kaum feminis orang Bugis pantas menjaga kehormatannya (akkalitutungeng siri’na) yang dalam bahasa agama disebut sebagai “hifzd al farj”. Orang Bugis mengerti bahwa kaum feminisnya merupakan cermin kemuliaan suku. Jika kaum yang berkulit halus dan bersuara lembut ini melampaui batas-batas agama dalam hal kehormatan diri, seperti perselingkuhan, protistusi, zina, pergaulan bebas, membuka aurat bak candoleng-doleng yang menjamur itu, dan sebagainya, maka nilai-nilai kemuliaan (Islam: karamah) wanita dalam suku Bugis mengalami keretakan bahkan bisa diramalkan tinggal fosil belaka yang dikaji oleh banyak peneliti kebudayaan kelak.

Feminisme yang ditawarkan oleh sederetan ilmuan besar tersebut di atas, berbeda dengan feminisme yang disuguhkan oleh Bugis. Mereka menawarkan kesetaraan gender yang menggugat otoritas ahli-ahli agama dimana berbeda jenis dengan kesetaraan gender ala Bugis yang berusaha memahami peradaban yang telah dibangunnya sejak dulu. Hal ini dikarenakan adanya tingkat sosio-historis dan sosio-geografis yang menjadikan perbedaan itu. Namun pada dasarnya, wanita bugis berhak menjadapatkan kesetaraan jender dan untuk tidak melangkah jauh kepada kawasan feninisme liberal, feminisme marxix, feminisme radikal, dan feminsme sosialis yang memberi lampu hijau kemandirian yang berbahaya bagi kaum yang khas dengan rambut panjangnya ini.

Orang Bugis yang dikenal sebagai pelaut dan perantau ulung ini memang menarik untuk disorot, budayanya yang khas dan citra kemandiriannya yang tersohor ini membuat penulis tertarik untuk menyuguhkan sebuah redaksi tentang citra wanita Bugis yang mulia. Jadi, siapa saja yang mengaku sebagai makkunrai ogi (wanita Bugis) yang muslimah, namun tidak mencerminkan nilai-nilai agama (baca: Islam), maka kebugisannya (baca: pengenalannya terhadap suku bugisnya) dipertanyakan. Bukankah wanita Bugis hatinya sehalus sutera Sengkang, sealembut kain baju bodo, dan semanis kue barongko’?. Tidak dinafikan bahwa pria juga harus sedemikian karena pria dan wanita sebenarnya sama walaupun tidak disamakan.

=================
Sumber  Foto : Copy dari Group Sempugi

3 comments for "Budaya Bugis : Kaum Feminim Dalam Budaya Bugis "

  1. Wanita Bugis juga terkenal dengan kesetiaan pada pada pasangannya, meskipun ditinggal merantau dalam waktu yang cukup lama.

    ReplyDelete
  2. kurasa, ada kesan pemaksaan penulisan istilah, sehingga muncul ketidak-konsistenan dalam penulisan istilah feminis dan feminim sehingga menimbulkan multi-interpretasi pada diksi tersebut.
    contoh: ... maka kaum feminis bugis akan banyak yang menjadi wanita karir ...
    feminis di sini bermakna sifat/psikologis bukan biologis.
    penulisan bugis dengan huruf awal yang kecil (bukan kapital "B") adalah penulisan yang keliru dari sisi normatif (EYD) dan di sisi "etika" itu bisa ditafsirkan mengecilkan suku Bugis.
    Mungkin hal tersebut disadari oleh penulis, tetapi penulis malas untuk merevisinya.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih atas masukannya yang sangat membangun ini. Ini jadi masukan dan teguran bagi kami

    ReplyDelete