Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ramadhan di Sengkang (Bagian 1)

Sekedar Pengenalan Lokasi

Sedari awal saya tegaskan, cerita ini akan membosankan dan hanya bisa dicerna dengan mudah oleh mereka yang pernah tinggal di kota Sengkang, kota asalku. Kota dengan jarak 4 – 8 jam perjalanan dari kota Makassar. Kota Sengkang tak lebih dari sebuah kota kecil, hanya ada satu jalan utama yang membelah kota ini. Dari arah selatan jalan ini utama ini bermula dari hilir sungai Walennae (jembatan Tampangeng), jalan utama berular menuju kampung Amessangeng, lalu ke arah Lapangan Merdeka, hingga ke Tugu simpang enam kota Sengkang (depan BNI 46). Lalu menjulur ke arah Kampung Lompo hinga Masjid Al Manar Tempe, lalu mengekor hingga kampung TaE Tempe. Hanya itu, hanya sepanjang itulah jalan utama di kota ini. Sebelum dan sesudah jalan tersebut, kita sudah memasuki daerah yang terbilang pinggiran kota.

Sepanjang sisi barat jalan kita hanya melihat rumah “terapung” karena saban tahun kebanjiran luapan air dari Danau Tempe. Sisi timur jalan terhampar rumah-rumah warga yang membentang hingga menyentuh lereng perbukitan sepanjang batas timur kota tua ini. Di salah satu lereng bukit itulah saya lahir dan dibesarkan, tepatnya dilereng barat bukit Annyarang PatalaE, kini diberi nama Jalan Jati. Meski kampung Jalan Jati ini banyak dihuni pejabat dan mantan pejabat (ada rumah jabatan ketua DPRD, mantan DPRD, mantan Camat, mantan Lurah, mantan Kepala Sekolah) tapi jalan ini adalah jalan buntu, ujung jalannya berujung di lereng bukit. Kampung ini bersebelahan dengan SMA Negeri 3 Sengkang di sebelah selatannya, lalu asrama Tentara, Pondok Pesantren As Adiyah di sisi baratnya, sementara disisi timur dan utara bersisian dengan perbukitan.

Kampung Jalan Jati Dalam (begitu saya menyebutnya), adalah sebuah komuni keluarga, hanya ada 12 rumah disana, ditambah satu kantor kelurahan dan satu lagi rumah mantan camat Kecamatan Tempe (yang sudah dianggap keluarga besar). Selain selusin rumah itu, masih ada dua petak rumah yang kini tersisa tanah kosongnya saja, tanpa bangunan. Satu rumah bergeser keseberang jalan. Satu lagi bangunan rumahnya telah berpindah ke kampung seberang. Dua rumah tersebut terjual, lama tak ditempati oleh empunya. Para pemiliknya telah meninggal dunia, namun ahli warisnya pergi merantau, salah satunya adalah saya dan adik-adik saya. Ya, kini kami tak punya rumah lagi secara fisik, tapi kami punya 12 rumah lainnya, saat mudik kami bebas memilih rumah mana yang akan kami tempati tidur dan makan. Tiap hari ganti alias pindah rumah, asyik kan?

Menyambut Ramadhan

Dikampung itulah saya lahir dan dibesarkan hingga umur 17 tahun, lalu masing-masing dari kami meninggalkannya, memaksa diri untuk belajar hidup di negeri orang tepatnya di Yogyakarta. Tentu banyak kisah yang telah kami lewati di kampung ini, satu dari sekian yang berkesan adalah saat melewatkan bulan Ramadhan. Sedari kecil, bulan Ramadhan selalu hadirkan suasana berbeda bagi kami, selalu membuat kami riang menyambut dan menjalaninya.

Karena sebagian besar pekerjaan orang tua kami adalah petani dan membuat kue jajanan pasar, maka kami selalu terlibat didalamnya. Jajanan pasar buatan orang tua kami banyak merajai warung-warung makan dan kedai jajanan di Kota Sengkang kala itu (bahkan hingga sekarang). Beberapa diantara kami bahkan memiliki warung makan di Pasar Sentral Sengkang. Jadi kalo Anda pernah masuk disalah satu warung makan atau warung es di Pasar Sentral Sengkang atau Pasar Mini Sengkang, berarti Anda pernah menjadi konsumen kami. Setidaknya keluarga besar kami mengelola 8 warung makan dan warung es di dua pasar terbesari di kota itu.

Biasanya dua bulan sebelumnya kami para anak-anak sudah disibukkan dengan menyiapkan banyak kayu bakar, kayu ini akan menjadi bahan baku perapian orang tua kami didapur untuk membuat jajanan pasar selama bulan puasa. Kayu bakar tersebut kami kumpulkan dan kami panggul dari bukit-bukit sekitar rumah kami, tak jarang harus kami panggul dari kampung sebelah dari dari bukit sebelah. Kami panggul dalam bentuk masih lonjoran (2-3 meter) dan juga masih basah, sampai halaman rumah kami tumpuk hingga menggunung. Setelah dirasa cukup, kami masih harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk memotong dan membelahnya lalu menjemurnya hingga kering. Setelah kering kami pindahkan dan kumpulkan dalam rak khusus di kolong rumah kami. Kayur bakar itu kami tata dengan sesak dalam rak kayu setinggi dan selebar tiga meter, jumlah sebanyak itu hanya cukup untuk satu bulan selama bulan Ramadhan. Wajar karena permintaan kue basah selama bulan puasa meningkat hingga lima kali lipat, reseki bagi kami, reseki juga buat keringat kami.

Tak hanya urusan kayu bakar, seminggu sebelum memasuki bulan puasa, kami juga disibukkan dengan memanen buah kelapa untuk bahan santan. Memanen buah pisang lalu memeramnya agar segera matang, tak ketinggalan menyiapkan tepung beras juga beberapa bonggol ketela pohon juga untuk bahan kue jualan selama Ramadhan. Bersamaan dengan itu kami juga “dipaksa” membersihkan lingkungan sekitar kami, merapikan selokan sekeliling rumah, membersihkan comberan, memangkas dahan-dahan pohon berkayu juga pohon pisang sekitar rumah agar terlihat rapi, segar, lega dan lapang selama bulan puasa hingga jelang lebaran. Tak hanya itu, kami juga harus membersihkan jelaga di kolong dan loteng rumah kami, bahkan mulai menjemur kursi dan kasur. Tak ketinggalan kami juga mencuci sarung, sajadah dan mukena yang akan kami pakai Shalat Taraweh, tak ketinggalan juga menjemur songkok kami yang hitam dan berbahan bludru. Minggu yang sangat sibuk.