Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perempuan, Pelaut Sejati

Selama ini, hanya pria yang selalu diindetikkan sebagai penguasa laut. Keperkasaan mereka dianggap teruji jika sudah berkecipak airu, kejantanan mereka diakui setelah mampu menyapih buih dilautan, otot mereka dianggap kuat jika sudah membeslah debur angin laut, tulang mereka dianggap kokoh juka sedah mebentangkan layar, melempar sauh dan memutar kemudi. Hampir tidak pernah sosok perempuan dianggap ada dalam dunia laut tersebut, dunia perempuan yang anggun, lemah lembut, kemayu dianggap tak cocok dengan ganas dan garangnya laut.

Tanah Bugis Makassar dan Mandar (BBM) yang selama ini dianggap negerinya para pelaut justru mengajarkan hal berbeda. Di tanah BBM, kaum perempuan yang diwakili oleh ibu dan atau istri sang pelaut memegang peranan penting. Penting sebelum, selama berada ditengah lautan hingga sang pelaut kembali kedaratan.

Dalam khasanah budaya BBM, seorang calon istri dianggap berkualitas tinggi jika ia macca duppa tofole nennia macca pappanguju tao lao. Cekatan sodorkan hidangan buat tamunya dan cakap membekali orang yang hendak pergi. Dalam konteks hubungan suami istri, ajaran ini mengajarkan bahwa seorang istri harus mampu membuat suaminya betah dirumah sekaligus membuat suaminya selamat dan tetap setia selama merantau (baca; melaut). Memiliki kualifikasi ini tentu tidak mudah, butuh ketelatenan, keikhlasan dan kesabaran serta perjuangan yang berkepanjangan. Hanya perempuan hebatlah yang mampu mengejar dan mendapatkannya.

Selain itu, kehebatan perempuan BBM juga sangat teruji saat suaminya berada ditengah laut. Selama suami dilaut, sang istri harus mengatur agar bekal hidup yang ditinggal suami dapat cukup hingga sang suami pulang. Padahal kepulangan itu tidak mengenal angka hari atau minggu, melainkan angka bulan hingga tahunan bahkan kadang belasan tahun. Selama suami ditengah laut, sang istri harus memastikan dan menjaga tidak ada kesedihan, lara, duka, tangis bahkan sekedar hati yang gunda gulana (galau) yang hadir ditengah rumahnya.

Pun halnya dengan beberapa detail simbol penghantar keselamatan berupa segelas air dan api pelita penerang juga harus dijaga agar tak kering dan tak mati selama sang suami ditengah laut. Hanya perempuan hebatlah yang mampu melakukan ini, maka penakluk laut yang sebenarnya adalah perempuan. Karena ia mampu menaklukkan suaminya sekaligus bentang laut itu sendiri.

Sebelum sang suami menggulung sauh, mengembangkan layar dan memutir kemudi kapal menuju laut, kaum perempuan juga memegang peranan penting. Terutama sebelum kapal sang suami menyentuh bibir pantai, bahkan sebelum kapal itu sendiri dibuat. Sejak pemilihan pohon yang akan ditebang untuk bahan baku kapal, saat lunas kapal dipasang, saat pusar kapal dipancangkan hingga saat kapal digiring kelaut, maka disana perempuan BBM juga memainkan peranannya. Sayang semua proses itu jarang dikupas dan dihidangkan ke hadapan kita semua, maka jadilah kita cenderung bias gender saat berbicara tentang dunia laut.