Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ramadhan (=) Sebuah Rutinitas Tahunan

Banyak dara berpinggang merit
Dengan wajah legit
Rame-rame ngabuburit
Dengan busana yang serba irit

Pamer hasil perawatan kulit
Meski penuh selulit
Tak peduli resiko sakit
Tak peduli ulama menjerit


Dakwah muballig kian sulit
Ditengah resesi yang kian rumit
Tarif sembako kian melejit
ditengah hutang yang membelit

Isi amplop semakin sedikit
Ummat makin pelit
Hedonis kian menggigit
Ummat tak kuasa berkelit

Puisi diatas saya buat untuk mengkritisi tingkah pola kawula muda di Bulan Ramadhan. Saban sore “ngabuburit”, keliling kota bareng “Muhrim Haramnya”. Berbusana ala kadarnya. Konon, busananya sangat dinamis dengan jaman yang serba krisis. Padahal dialah sebenarnya yang dilanda krisis moral. Belum lagi T-Shirt yang dipakainya dari bahan kaos tipis (biasanya untuk saringan tahu), menampakkan lapisan dalam kaosnya serta pinggangnya yang merit meski sana-sini penuh dengan selulit. Habis ngabuburit, entah pake Shalat Magrib apa tidak ?, pulang sejenak kerumah. Lalu janjian kembali untuk taraweh bersama dengan Muhrim Haramnya.


Demi melewati masa-masa indah bersama, belasan Masjid, Musholla dekat dirumah dilewati. Sengaja memilih masjid yang lebih jauh. Alasannya, semakin jauh kaki melangkah ke Masjid, semakin besar pahalanya. Padahal biar lebih lama boncengan dengan sang Muhrim Haram. Tiba giliran ceramah antara Shalat Isya dan Taraweh, tak henti-hentinya ia mengumpat “akh ustazdnya gak asyik nih, ceramah kelamaan”. Pulang, sengaja ngambil jalan muter jauh. Katanya tadi shalat Tarawehnya ngambil yang 23 rakaat. Ramadhan sama dengan rutinitas tahunan, agar masa wakuncar bisa lebih lama.

Ramadhan, rutinitas tahunan. Seorang ibu rumah tangga, bersama sang pembantu, sehari menjelang puasa terlihat mondar-mandir didapur, menelisik bumbu dan bahan masakan apa yang sudah habis bulan ini. Targetnya, malam ini harus belanja untuk stock hingga lebaran. Tak peduli dengan seorang perempuan tua, yang tak tahu harus masak apa buat sahur suami dan anaknya hari ini. Perempuan tua itu berlindung di bawah bentangan selembar spanduk berbahan plastic vinyl, bekas iklan. Spanduk itu menempel didinding luar rumah sang nyonya besar. Sang Nyonya tak peduli dengan suaminya yang sibuk mereka darimana gerangan sumber pemasukan untuk menutupi pengeluaran dibulan puasa ini. Korupsi, mungkin itu solusinya. Ramadhan, sama dengan membuka pintu korupsi.

Ramdahan, rutinitas tahunan. Di sudut dapur yang telah menghitam karena asap dari tungku berumur puluhan tahun. Seorang ibu duduk menatap jilatan-jilatan api pada cabikan lembar-lembar tripleks. Bahan bakarnya untuk memasak kali ini, entah untuk untuk Magrib nanti. Sebenarnya ia punya kompor dan tabung gas pemberian pemerintah. Tapi tak dipakainya. Baginya tabung gas itu tak lebih dari bom molotov, siap meledak kapan saja dan kian mempersulit hidupnya. Sang suami, dengan kuas dan kapur sisa hasil dari kerja borongan melabur gapura desa, asik melabur dinding depan rumahnya yang terbuat dari gedek bambu, itupun sudah lapuk dibagian bawahnya. “Sedikit berbenah untuk menyambut 67 tahun kemerdekaan negerinya sekaligus menyambut bulan Lebaran”, katanya. Ramadhan sama dengan menunggu kerja borongan sambil berharap sisa untuk mempercantik rumah yang sudah reot.

Ramadhan, rutinitas tahunan. Dua hari menjelang puasa, seorang ABG sibuk mengutak-atik kata dan kalimat di fasilitas Message HP-nya. Setiap kata dan kalimat dipertimbangkan agar puitis dan Islami. Didalam SMS itu harus ada kata “Mohon Maaf Lahir Bathin”, “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”, “Marhaban Ya Ramadhan”. Adalagi yang sedikit kreatif memadukan nama-nama provider telekomunikasi seluler dalam sebuah kalimat. Ada pula kalimat yang mengusung kearifan lokal, dengan untaian kalimat berbahasa daerah. Namun tak sedikit yang memilih menunggu kiriman dari teman-temannya lain, lalu dikirimkan kembali ke temannya yang lain. Ramadhan sama dengan rutinitas tahunan, dosa, khilaf, alfa, kesalahan selama sebelas bulan dibiarkan berlalu. Dikumpulkan untuk dimintakan maaf secara jamaah di Bulan Ramadhan.

Ramadhan, sebuah rutinitas. Bagi para penjaja busana Muslim berikut perlengkapannya, juga bagi para penjaja makanan dan minuman buka puasa. Tak ketinggalan bagi para penjual paket parsel / bingkisan lebaran. Mereka berlomba-lomba mengejar Rupiah, sejajar dengan para konsumen yang seolah punya tenaga dan sumber dana ekstra dibulan puasa untuk. Seirama dengan ribuan orang dan instansi yang berebutan cari muka pada atasan lewat kiriman parselnya.

Juga senada dengan para perantau, ya perantau kerja juga perantau Mahasiswa yang ingin dianggap sukses dan kaya. Memborong belanjaan atas nama oleh-oleh. Meski kadang biaya oleh-oleh lebih tinggi dari biaya transportasi mudik. Tak peduli, di jejeran rel kereta api di sudut kota, berjubel manusia berjejer dengan asa yang tak pasti. Jangankan untuk beli oleh-oleh untuk sekedar mendapatkan tiket kelas ekonomipun susah. Kalaupun dapat, didalam gerbong kereta api hukum rimba telah menanti, para penjual tiket tidak pernah dan takkan pernah menjamin semua penumpang akan mendapatkan kursi / tempat duduk. Berarti Ramadhan sama dengan membumikan ekonomi kapitalis dan hukum rimba.

Ramadhan, rutinitas tahunan. Manajer personalia sebuah perusahaan, asik mojok dengan manajer keuangan. Menghitung dan memilah lembaran Rupiah demi Tunjangan Hari Raya (THR) bagi para karyawannya. Disisi lain, sang karyawan sedang menulis status di Facebooknya “Berapa ya THR tahun ini”. Ditulis dengan otak yang bekerja melebihi kecepatan Komputer dengan Processor Intel Pentium 2,8 GHz, mencoba mengkalkulasi akan diapakan uang THR tersebut. Mereka semua tak pernah peduli, jika dibawah jembatan Sayidan Yogyakarta, seorang anak menunggu keikhlasan seekor lele untuk menyambar umpan dan kailnya, sekedar lauk buat buka puasa hari ini. Akh, Ramadhan sama dengan THR dan Ikan Lele.

Ramadhan, sebuah rutinitas. Seorang pejabat di negeri kaya nan cantik ini. Sibuk merancang acara open house saat lebaran nanti. Menu apa yang akan disajikan, berapa amplop yang akan dibagikan, siapa-siapa saja yang akan datang. Juga sibuk memeriksa lembar kerja asisten pribadinya, siapakah gerangan anak buahku, siapakah gerangan kepala dinas yang belum setor “upeti” untuk acara open house-nya. Sang pejabat, pura-pura tidak menonton dan mendengar keluh kesah para wong cilik, para pemudik yang meregang nyawa di jalanan. Konon di Tahun 2011, 55 nyawa melayang tiap harinya selama 13 hari masa mudik. Tragis !!!. Ramadhan sama dengan ajang tega-tegaan dan pembantaian.

Ramadhan, sebuah rutinitas. Semua siaran televisi menampilkan acara Sahur bareng dengan sentuhan entertainment. Host dan bintang tamupun dibayar mahal demi mengejar rating. Tak peduli jika para pesohor itu adalah sosok kontroversial, yang sabang hari berbusana minimalis, mengumbar syahwat. Dengan alasan profesionalisme, selama Bulan Ramadhan pesohor itu berkenang menempelkan selendang diatas rambut mahalnya. Dengan alasan yang sama pula, tiga hari setelah lebaran, selendengan kerudung tersebut dicampakkan lagi. Belum lagi para pesohor berlabel pelawak yang tak henti-hentinya melontarkan banyolan vulgar dan menampakkan kekerasan. Ini berarti Ramadhan sama dengan rating, vulgar dan kekerasan.

Akh… Ramadhan-ku sayang, Ramadhan-ku malang. Sebagai penutup, kita semua wajib menjawab pertanyaan berikut : Yang salah itu Ramadhan-nya, Ummat-nya atau justru penulis yang sok pintar menganalisa ?.