Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DARI ACEH KE JOGJA, MEMBACA HARU PADA GOYANGAN GEMPA


DARI ACEH KE JOGJA,
MEMBACA HARU PADA GOYANGAN GEMPA


Menyebut Aceh, kita akan teringat tiga hal yakni GAM, TSUNAMI dan SERAMBI MEKKAH. Setidaknya dalam benak kita. Suka tidak suka, mau tidak mau atau bakan diterima atau tidak diterima, Aceh memang identik dengan 3 hal tersebut. Berbeda dengan identitas ketiga yang bernada menyenangkan juga membanggakan, dua identitas awal yakni GAM dan tsunami banyak meninggalkan kenangan buruk bahkan trauma berkempanjangan, teruma kata gempa. Setiap menyebut atau mendengar kata tsunami, maka Aceh pasti terlintas dalam benak kita.  Muncullah banyangan kengerian, ketakutan, kematian bahkan kebinasaan. Gulungan air bah berwarna hitam yang bergelombang dan tak kenal penghalang memicu ketakutan. Jejeran jenazah korban yang masih juga ditemui hingga beberapa minggu setelah kejadian kian melengkapi rasa getir bagi yang melihatnya. Bukan hanya bagi korban selamat atau para relawan tapi juga bagi para “penikmat” berita bencana tersebut lewat belasan media kala itu.

Ketika potensi tsunami itu kembali menyapa pada hari ini (11 April 2012), maka kenangan akan peristiwa 8 tahun lalu itu muncul kembali. Melahirkan kepanikan, rasa was-was, bahkan sindrom traumatik akut (bagi sebagian orang). Bagi penulis, rasa was-was itulah yang muncul tatkala mendapat kabar tentang gempa berkekuatan 8,9 SR (Geofon Gfz Postdam Jerman), 8,7 SR (USGS Amerika), 8,5 (BMKG Indonesia) yang dirasakan belasan negara sekitar laut cina selatan. Gempa terjadi pada pukul 15:38:33 WIB dengan lokasi :2.40 lintang utara , 92.99 bujur timur, kedalaman 10Km. Rasa was-was paling mendalam yang saya rasakan adalah ketakutan jika gempa ini merembet hingga ke Yogyakarta. Bukankah, gempa  Jogja (27 Mei 2006)  adalah bagian dari rentetan panjang gempa Aceh.

Kegerian yang terpapar saat gempa Jogja lalu masih terekam jelas dalam benak saya. Hari itu, Jogja baru saja memulai kesibukannya, saat jarum jam menunjuk 05.45. Hidupku terasa di atas tampah, ibarat bulir padi yang diayak ke kanan dan ke kiri. Tanah dan segala yang ada diatas seolah diayung lalu dihempaskan sekeras-kerasnya. Gempa tektonik berkekuatan 5,9 SR itu merubah wajah Yogyakarta dalam kedipan mata. Dari kota yang sibuk dengan dinamikan pendidikan, seni dan budayanya berubah menjadi kota yang sepi, suram, penuh jerit tangis, ratap iba dan orang-orang menjura minta ampun, berharap belas kasih dan Sang Khaliq. Tanah merekah dan menutup kembali, jalan raya ibarat tikar yang disentakkan, tiba-tiba bergelombang naik, lalu turun kembali membentuk cekungan dan secepat kilat naik kembali. Setelahnya hidup terasa beku,  bahkan burung tak lagi terdengar kicaunya.

Selang beberapa menit kemudian, Jogja berubah menjadi caos. Tak terkendali, semua bergerak tanpa akal sehat, hilur mudik tak tentu arah. Isu tsunami membuat mereka yang selamat hidup dari gempa berganti panik. Korban kembali bertambah, di perempatan Ngipik Bangutapan Bantul tepat didepan mata penulis dua motor melaju dari arah berbeda dan bertabrakan, dua pengendara tewas seketika, itu baru dua, belum ditempat lain, dengan penyebab dan cerita yang berbeda. Kepanikan akibat isu tsunami bertambah dengan isu meletusnya Gunung Merapi, yang memang telah status waspada beberapa hari sebelumnya. Masyarakat panik dari arah selatan karena isu tsanami berpapasan dengan masyarakat panik dari arah utara karena isu erupsi merapi. Hati siapa tak tercekam?

Belajar dari gempa Jogja dan Aceh

            Senada dengan ulasan editorial Metro TV hari ini, penulis juga melihat Indonesia (baca: kita) ternyata belum banyak belajar dari gempa-gempa yang silih berganti menyapa daratan Indonesia. Meski masyarakat kita telah tanggap dan waspada dalam menghadapi bencana tapi instrumen pendukung belumlah maksimal. Selain sirine peringatan tsunami yang belum maksimal, ternyata kita belum juga sigap dalam menyiapkan instrumen tanggap darurat. Di Yogyakarta misalnya rambu petunjuk jalur evakuasi belum sepenuhnya tersedia, runyamnya ini justru terjadi di daerah perkotaan yang padat penduduk. Kalah dengan daerah perkampungan/desa yang justru lebih siap dan jelas rambu-rambunya.


Karena sudah dianggap berlalu, pelatihan tanggap darurat dan latihan evakuasi sudah mulai jarang dilakukan, baik di Yogyakarta maupun di daerah lainnya. Terutama di gedung perkantoran, kampus, sekolah dan pusat keramaian lainnya, bahkan masih banyak diantara gedung-gedung tersebut yang tidak memasang petunjuk jalur evakuasi dan pintu/tangga darurat. Tak hanya latihan tanggap darurat yang kurang, petunjuk tertulis tehnik evakuasi dan penyelamatanpun juga jarang ditemui. Ironis! Belum lagi kotak peralatan P3K juga jarang ditemui atau tidak ditempatkan ditempat yang mudah dilihat dan gampang dijangkau.

Sepengamatan penulis di Yogyakarta, belum ditemui adanya instrumen pipa jalur selamat. Pipa yang seharusnya dipasang menjulang pada bangunan bertingkat, dimana penghuninya dapat prosotan hingga lantai bawah yang telah ditentukan sebagai tempat berkumpul (assembly point). Pipa penyelamat ini akan mengurangi potensi korban, terutama saat mereka berdasakan ingin memakai tangga darurat, bukankah tangga merupakan struktur yang paling gampang rubuh saat gempa. Selain itu masih juga belum banyak dipersiapkan meja atau jenis mebel lainnya yang kokoh sebagai tempat perlindungan sementara saat gempa datang.


Akankah kita diam? Saya menjawab tidak! Saya akan lakukan yang terbaik demi menyelamatkan orang-orang di sekeliling saya dari potensi bahaya. Minimal di rumah dan di tempat kerja saya.

Catatan :
Foto 1 :
ada-ada-aja-deh.blogspot.com
Foto 2 : mixxpdf.com

Post a Comment for "DARI ACEH KE JOGJA, MEMBACA HARU PADA GOYANGAN GEMPA"