Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

INGIN MENIKAH? PECAHKANLAH TEMPAYAN ANDA!

Nikah adat Bugis
Photo : Koleksi Herza Syarif
Topik pernikahan selalu menjadi topik yang “super seksi” diperbincangkan berbagai kalangan. Mungkin karena semua orang akan mengalami dan membutuhkannya.

Tak terkecuali bagi kalangan masyarakat bugis. Bagi masyarakat bugis, topik pernikahan tak hanya super seksi, melainkan menjadi “terlalu amat sangat seksi sekali” untuk dibincangkan. Dapat dipastikan sub topiknya tak lepas dari biaya pernikahan yang besar, mahar yang besarannya membuat sebagian orang tiba-tiba cenat-cenut, juga tentang para tamu undangan pada pesta pernikahan yang berlomba tayangkan starata sosial dan ekonominya, atau para barisan penjemput tamu dengan mata yang garang mengamati perhiasan dan asesoris yang dikenakan para tamu undangan yang lewat didepannya.

Selain beberapa sub topik diatas, tema tentang syarat dan prasyarat menikah bagi seorang jaka dan dara juga sering menjadi tema menaik untuk diperbincangkan. Orang bugis terutama kaum jejaka pasti tak asing dengan idiom “Mulleniga maggulilingi dapurengmu ekkapitu”, sebuah kearifan lokal yang menggariskan berbagai sarat bagi kaum jaka sebelum menikah. Secara tekstual garisan ini meminta agar sang pria harus mampu mengitari dapurnya sebanyak tujuh kali, jika tidak mampu maka tundalah hingga engkau lulus pada ujian satu ini.

Sepintas hal ini sangat sederhana, anda cukup berjalan memutari dapur dirumah anda sebanyak tujuh kali, selesai. Sayang, ajaran yang dikenal dengan label “Ilmu tujuh pusaran dapur” ini tak semudah dalam bayangan kita. Dapur yang dimaksud disini bukanlah ruangan dapur atau tempat perapian itu sendiri, melainkan sebuah simbol. Simbol yang hanya dapat dipecahkan dengan perenungan batin, pikiran yang bijak, nalar yang arif serta hati yang bestari. Tak semua jejaka mampu menerjemahkannya apalagi mengejawantahkannya, maka banyak pula yang mengabaikan prasarat tersebut karena sudah “kebelet” nikah.

Lalu bagaimana dengan kaum dara, adakah prasyarat serupa?

Meski tidak setegas prasayarat bagi kaum pria, prasyarat bagi kaum dara juga ada. Ajarannya dikenal dengan lewat idiom “Mulleniga tettai’ care wajummu?” (sudah mampukah engkau mengurai kembali jahitan pada pakaian bekasmu). Sebah bentuk kearifan leluhur bugis yang meminta para dara  agar terlebih dahulu mengusai ilmu sabar (sabbara’), ilmu telaten (temmangingngii), ilmu hati-hati (maninii), ilmu cekatan (majetta), ilmu teliti (mapikke), ilmu momong (marufeng), serta ilmu tuntas (makkanrafi). Kaum dara bugis (baca : dara tempo dulu), banyak yang lulus pada prasyarat ini, keterampilan menenun kain menjadi wujud ejawantah prasyarat tersebut. Dalam keterampilan menenun kain, tujuh komponen prasyarat tersebut akan ditemui dan pasti dilalui.

NIKAHKANLAH AKU!

Kapankah para jaka atau calon istri itu diuji, siapa yang mengujinya?

Tidak ada lembaga resmi atau petugas khusus yang bertugas melakukan uji kepatutun dan kelayakan terhadap para jaka dan dara tersebut. Proses pengujian berjalan secara alamiah,  nampak pada unjuk prilaku mereka sehari-hari. Pengujinya adalah orang-orang di sekitar mereka, bahkan secara tidak langsung masyarakat di luar lingkungan mereka juga bisa menjadi penguji yang secara informal akan memberi informasi atau bahan pertimbangan kepada keluarga inti sang jaka / dara. Pengujian juga berjalan secara informal, berlaku otomatis seiring perkembangan fisik dan psikis yang bersangkutan, lazimnya dimulai saat sang jaka / dara telah memasuki masa akil baliq. ­

Tidak ada ketentuan batasan seberapa lama proses pengujian ini berlangsung, bisa singkat dalam hitungan bulanan, bisa pula dalam hitungan tahun. Bagi yang cepat lulus, tentu sebuah berkah. Bagi yang butuh waktu lama, tentu ini adalah masalah. Layaknya sebuah neraka bagi mereka sudah “kebelet” nikah. Tak jarang dari para kaum “kebelet” ini yang melakukan unjuk rasa, menunjukkan ke orang-orang di sekitarnya bahwa dia ingin segera dinikahkan. Unjuk rasa  tidak disampaikan secara vulgar lewat ungkapan atau permintaan, namun disampaikan dengan bahasa simbol.

Bagi sang jaka, simbolnya adalah dengan merusak atau memecahkan tempayan dirumahnya, tempayan dipecahkan secara sengaja namun seolah-olah tidak sengaja. Tempayan dalam bahasa bugis disebut gumbang atau bempa, dua nama yang merujuk pada wadah air masyarakat bugis yang terletak di area dapur basah di ruang dapur masyarakat bugis. Tempayan ini harus terjaga hingga tidak kering, karena ini hal yang tabu. Yang bertugas menjaga dan mengisinya dengan air sang anak laki-laki yang ada di rumah tersebut. Sang anak ini melakukannya dengan cara memikul air dari sumber air ke tempayan itu, dilakukan secara berulang-ulang hingga tempayan itu penuh, dilakukan setiap hari. Maka wajar jika ada rasa jenuh, jenuh mengisi tempayan yang sama dan di tempat yang sama. Dalam benaknya muncul nada protes “saya sudah bosan mengisi tempayan ini, saya ingin mengisi tempayan lainnya”. Tentu tempayan dalam konteks ini tidak dimaknai secara fisik sebagaiman bentuk tempayan itu sendiri, melainkan sebuah simbol. Apakah itu? Tempayan adalah simbol sebuah rahim.

Bagi sang dara, bentuk unjuk rasa juga dimiliki. Juga dalam bentuk sama, memecahkan tempayan. Namun, tempayannya bukan gumbang atau bempa yang dipecahak kaum pria. Tempayan yang dimaksud adalah tempayang yang lebih kecil, biasa digunakan kaum perempuan (dara dan bukan dara) menjunjung air dari sumber air kerumahnya. Dijunjung setelah selesai dengan aktifitas mencuci pakain dan mandi disumber air seperti sungai, danau, atau sumur. Tempayan kecil ini disebut busu, busu adalah simbol dari rahim seorang perempuan. Dengan sengaja menjatuhkan busu hingga pecah, dara ini seolah berkata “aku sudah ingin memecahkan mulut rahim dan air ketubanku dengan melahirkan seorang anak!”

Bagi keluarga inti dari dara dan jaka yang “kebelet” ini, ini adalah sebuah peringatan. Salah menanggapinya, fatal akibatnya. Bagi sang dara dan sang jaka, ini sebuah kepuasan, puas telah berteriak “Ayah nikahkanlah aku!”

Pertanyaannya kini, masih adakah tempayan di rumah Anda?

====
Photo : Koleksi Herza Syarif


9 comments for "INGIN MENIKAH? PECAHKANLAH TEMPAYAN ANDA!"

  1. "Bagi yang butuh waktu lama, tentu ini adalah masalah"

    Au iyana kapang tu deng :)

    ReplyDelete
  2. masi ada ji ia tempayannya tapi sudah tidak dipake, malah sudah disimpan di tempat yang berbeda dengan posisi terbalik, permasalahannya kalau itu sampai saya pecahkan, apa kata orang rumah.
    jakkamma naseng ka jageng.

    ReplyDelete
  3. bisa di jelaskan seperti apa / bgmn itu mengelilingi 7 kali dapur. ?

    ReplyDelete
  4. Menarik Daeng...

    Mungkin perlu penjelasan lebih lengkap di tulisan berikutnya :

    1. Mulleniga Maggulilingi dapuremmu ekka pitu...?
    2. Mulleniga tettai' care wajummu...?

    Terima kasih...

    ReplyDelete
  5. hehe.. tidak ada mi tempayan d rumah ku kowdonk

    ReplyDelete
  6. tabe, mgkn bisa di bantu penjelasan "mulleniga maggulilingi dapurengmu ekka pitu"???
    siapa tau weddi toni kesi'...hehehee

    ReplyDelete
  7. Klo tdk ada tempayan, kira2 galon bs ji? hehehe

    Menarik...

    ReplyDelete
  8. apa ada juga yang tak usah pakai mahar ya?

    ReplyDelete