Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengimbangi Sang Professor

Awalnya saya jengkel. Persiapan acara tidak seperti rencana sebelumnya.

Sabtu, 23 Juni 2012, pukul 19.30 WIB. Sudah lewat setengah jam dari jadwal seharusnya, andai semua tepat waktu seharusnya acara “Tudang Sipulung/Diskusi Budaya” ini sudah berlansung dari tadi. Terlebih semenit lalu, sang pembicara sudah berada di lokasi acara. Dialah Prof. Nurhayati Rahman, seorang filolog juga budayawan asal Sulawesi Selatan, yang saat ini mengabdikan ilmunya di Akademi Pengajian Melayu di University Malaya Kualalumpur Malaysia. Sebagai orang yang turut mengundangnya sebagai pembicara, saya merasa dipermalukan saat ruangan seluas 135 meter persegi itu hanya terisi 5 orang peserta diskusi, itupun adalah para tuan rumah, pelaksana acara dan sala satu putrinya, Mutia Nurul Fariza.

30 menit kemudian tanda-tanda acara akan dimulai tampak, lega rasanya. Sebelum mengambil posisi tempat duduk yang pas, saya bertanya kepada panitia siapa moderator diskusi ini. Bukan jawaban yang saya dapatkan tapi tatapan gamang dari mereka yang disebut namanya saat itu, ada yang tidak siap, adapula yang belum datang. Inilah muasal rasa jengkel saya yang lainnya. Daripada mengulur waktu akhirnya saya pilih untuk mengambil alih tugas tersebut, memandu acara diskusi. Sebuah diskusi budaya yang secara rutin diselenggarakan oleh Forum Kajian Budaya Sulawesi Selatan-Sulawesi Barat yang kali ini bekerja sama dengan Keluarga Pelajar Mahasiswa Wajo Yogyakarta dan Lontara Project. Meski para peserta telat datang, tapi jumlah peserta malam itu memecahkan rekor peserta pada edisi-edisi diskusi sebelumya, jika sebelumnya hanya 20-40 peserta maka pada edisi ke-6 ini peserta mencapai 72 orang peserta.

Karena tanpa persiapan, maka diawal memandu diskusi saya terbata-bata, semua perbedaharaan kata saya tiba-tiba hilang, penggalan-penggalan kalimat puitis dan maknawi saya tiba-tiba raib. Tak mau terlihat dan berbuat lebih konyol lagi, kesempat segera saya sodorkan ke Prof. Nurhayati Rahman untuk memberi pengantar diskusi yang bertema “Konsep Manusia dalam Naskah La Galigo” itu. Sayapun akhirnya beringsut, duduk mendekati Bunda, sapaan akrab kami untuk pembicara. Seorang dengan segudang prestasi akademik dan praktis yang selalu tampil bersahaja. Lebih memilih menginap di kamar Asrama Mahasiswa dibandingkan di kamar hotel. Seseorang yang bersahaja rela makan nasi dan lotek bungkus bersama kami, para anak-anaknya.

Duduk mendampingi seorang Bunda seperti malam itu adalah tantangan sendiri bagi saya, terlebih Bunda sangat bersemangat dalam membagi rerimbunan data, fakta, wacana dan gagasannya malam itu. Saya yang lebih muda tentu tak ingin kalah. Jika sebelumnya saya jengkel menjadi moderator dadakan maka perlahan saya menikmatinya, tentu setelah saya menyimak semua detail fakta yang disampaikan oleh salah satu Putri dari pembesar Pondok Pesanteren DDI Mangkoso ini.

Pada setiap jeda istirahat, setiap membuka sesi tanya jawab. Saya selipi dengan berbagai spontanitas yang mendukung paparan Bunda sebelumnya. Seperti pada sesi tanya jawab pertama, saya mencoba membacakan beberapa bait La Galigo (Massureq), karena sebelumnya Bunda sempat menyitir teks tersebut saat menceritakan tentang betapa humanisnya sosok To Palanroe (Dewata Bugis) dalam naskah tersebut. Pada sesi kedua, setelah Bunda mengurut nama-nama besar para sastrawan asal Sul-Sel maka saya berimprovisasi membacakan karya Ram Prapanca “Sukmaku di Tanah Makassar”, lalu disesi berikutnya saya tampilkan kehadapan peserta sebuah naskah tua karya B.F Matthes berupa Injil bertuliskan aksara dan berbahasa Bugis. Terakhir pada sesi penutup diskusi saya bacakan sebuah puisi dari Bunda sendiri, seperti berikut ini :

Oh malam, berikanlah aku
kesunyianmu yang sejuk
bukan kepekatanmu yang mengerikan

Oh siang, berikanlah aku
cahayamu yang menyilaukan
bukan panasmu yang menyobek kulitku

Dengan kesunyianmu
aku bisa menyorot seluruh nafas asamu
dengan cahayamu
aku dapat menemukan seluruh denyut sajakmu

Semoga upaya saya mengimbangi sang Professor dengan apa yang saya lakukan malam itu, tidaklah bernilai lancang. Makkarodda atau tennia tudangengna dalam bahasa Bugis. Tabe!

Buat panitia, terima kasih atas “paksaannya”, memaksaku jadi moderator. Terima kasih juga atas bette lame (ubi goreng) dan sarabba-nya.

Post a Comment for "Mengimbangi Sang Professor"