Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PEREMPUAN (BUGIS) BERHIJAB SARUNG



Judul tulisan ini memang terinspirasi dari judul film “Perempuan Berkalung Sorban”, tapi hanya sebatas judulnya. Inspirasi utama dari tulisan ini adalah tradisi kaum perempan Bugis dalam memakai sarung, inspirasi ini juga bergayung sambut saat mendapati sebuah foto perempuan Bugis yang menutup dirinya dengan kain sarung. Foto tersebut penulis dapatkan dalam naskah buku “Suara-suara dalam lokalitas” buah pena dari Prof. DR. Nurhayati Rahman. Naskah yang proses terbitnya sedang digarap oleh penulis.


Sarung memang tak pernah lepas bagi keseharian orang Bugis. Tua, muda, kanak-kanak senantiasa mengenakannya. Sarung juga tak mengenal bias gender. Laki, perempuan bahkan kaum trans gender juga mengenakannya. Jika kaum pria menggunakannya untuk ibadah, bekerja dan beberapa aktifitas lainnya, pun juga dengan perempuan. Sarung oleh kaum perempuan Bugis juga dikenakan dalam kesehariannya. Sarung mereka pakai untuk beribadah, mandi bahkan untuk urusan dapur, sumur dan kasur.

Ada satu tradisi memakai sarung kaum perempuan bugis yang tak bakalan dilakukan kaum pria, bahkan mungkin tak ditemui di entnis lainnya dimuka bumi ini. Perempuan bugis menggunakan sarung untuk menutupi area terlarangnya saat mereka berada diruang umum, saat mereka berlalu didepan khalayak serta saat mereka keluar rumah. Jika dipaksakan untuk mencari analogi yang mendekati pada jaman sekarang, maka tradisi perempuan bugis tersebut mirip dengan tradisi memakai hijab para perempuan Arab. Memakai kain gombrang menutup sekujur tubuhnya, mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Hanya muka yang tampak (kadang hanya kelopak mata), bahkan bentuk dan lekuk tubuhpun tak tampak.

Cara menutup tubuh itupulah yang kita dapati saat perempuan bugis mengenakan dua buah sarung untuk menutup tubuhnya. Satu sarung dipakai pada tubuh bagian bawah, mulai dari uluhati hingga mata kaki. Ujung sarung di uluhati tadi dibebat kencang dengan ujung kain yang diselipkan di sela kain dan kulit tubuh, kadang juga sengaja mengikatkan ujung kain pada satu sisi dengan sisi lainnya. Cara kedua ini lebih banyak dipakai, selain lebih kencang (tidak gampang melorot) juga memaksimalkan efek gombrang saat dipakai.


Satu sarung lainnya dipakai dengan cara menjadikan kain sarung sebagai selubung tubuh, menutupi ujung kepala hingga pertengahan paha. Kurang dari satu setengah jengkal ujung atas tetap dibuka (seukuran wajah) agar tak menghalangi pandangan pemakainya. Sehingga dari depan hanya tampak wajahnya, bahkan pada kondisi tertentu yang tampak hanyalah dua mata sang pemakai, sehingga ujung yang terbuka seolah segaris dengan mata pemakainya.

Kenapa perempuan bugis menutupi tubuhnya sedemikian rupa?

Kondisi ini tidak terlepas pada ajaran kearifan lokal bugis yang menganggap perempuan sebagai sebuah kehormatan yang harus dijaga dengan takaran darah dan nyawa. Inilah alasan kenapa perempuan bugis selalu memiliki tau masiri, pria yang menjadi penjaga kehormatannya, pria yang wajib berkorban membela, mempertahankan dan mengembalikan kehormatan perempuan yang dijaganya, perempuan yang menjadi to risirisi-nya. Ketika perempuan tersebut berada ditempat umum dengan menampakkan bagian terlarang dari tubuhnya, maka sang tomasiri-lah yang malu berat, ia akan menegur sang perempuan. Jika ia tak mampu lagi menegurnya, pilihan terbaiknya adalah sang pria harus meninggalkan kampung halamannya, merantau agar ia tak menjadi sasaran hinaan masyarakat setempat. Sementara bagi sang perempuan yang “tak mau diatur”, maka ia akan dikurung dalam rumah atau ia di pali, diungsikan ketempat lain yang jauh dari kampungnya.


Tradisi memakai hijab ini sudah dikenal masyarakat bugis jauh sebelum agama islam masuk ke tanah Bugis itu sendiri. Makin membudaya kala ajaran agama islam telah diterima di tanah bugis pada kisaran abad XVI-XVII. Hal yang menunjukkan ajaran adat (pangadereng) bugis sejalan dengan hukum syariah (syaraq) islam, minimal dalam urusan menutup aurat. Hijab sarung ini mulai berlaku pada kisaran abad IX-X. Sayang hijab dengan sarung ini mulai pudar sejak adanya baju bodo yang kala itu masih tipis dan transparan, diperparah lagi dengan kebijakan pemerintah pusat kala itu “memaksakan” baju kebaya (Bugis:Kobaja) menjadi busana nasional.

Kini jamak kita temui perempuan bugis di berbagai tempat dengan bangganya melenggak dengan menampakkan area terlarangnya, termasuk lekuk tubuhnya. Parahnya lagi, kadang pakaian dalamnya kelihatan. Jika dulu perempuan bugis yang berhijab sarung mendapat pujian “niganaro anaq dara iyaro? Malebbimani, namoha ille matanna dettona nrulle mita” (siapa gerangan dara itu, sungguh anggun dan santun, bahkan sekedar melihat garis matanyapun kita tak mampu). Kini pujaan itu berganti cibiran “nigana anaq dari iyaro? Demanagaga sirina, namohan wille pelli-pellinna yodding toni irita” (siapa gerangan dara itu, tak kenal malu, hingga belahan pantatnyapun dengan mudah kita lihat).

Sungguh ironis!




7 comments for "PEREMPUAN (BUGIS) BERHIJAB SARUNG"

  1. bukan cuma perempuan bugis, di daerah lain pun jamak kita jumpai fenomena demikian

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali,m di Bima juga ada. Silahkan ditulis agar tambah kaya khasanah budaya kita

      Delete
  2. luar biasa budaya sarung itu ternyata. ditunggu Bang Fajrin tulisannya tentang budaya serupa di daerah lainnya

    ReplyDelete
  3. izin copas di blogku yah daeng...

    ReplyDelete
  4. Bukan hanya perempuan bugis yang menggunakan sarung sebagai hijab, gadis-gadis bima juga menggunakan hijab berupa sarung namanya RIMPU....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali,m di Bima juga ada. Silahkan ditulis agar tambah kaya khasanah budaya kita

      Delete
  5. ijin share puang...makessing kale artikel kita...membuktikan kalau hijab bukan hanya untuk orang arab saja...ternyata hijab adalah untuk menghormati kaum perempuan.

    ReplyDelete