Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CAPUNG, ANGELINA JOOLI DAN KUTUKAN MENCRET

CAPUNG, ANGELINA JOOLI DAN KUTUKAN MENCRET
Oleh : Suryadin Laoddang



Photo : Mbah Google

Anjelina Jooli, Anjelina Jooli, Anjelina Jooli”, teriak mereka berlarian. Berlari ke padang rumput di sela-sela rumah panggung. “Anjelina Jooli, Anjelina Jooli, Anjelina Jooli”, teriak mereka masih membahana. Berbekal sejulur kayu dengan plastik bening yang melekat di salah satu ujung kayu, mereka berlarian dan berhenti lalu berpencar di padang rumput itu. Padang rumput hijau dan luas itu selalu kukenang, selalu membangkitkan rinduku.

Seolah mengalami dejavu, teriakan anak-anak itu mengingatkanku pada masa kecilku. Bertelanjang kaki, bertelanjang dada, kadang telanjang bulat. Kami berkejaran, kami rebutan, adu kesabaran demi seeokor capung. Selembar plastik bekas wadah gula pasir 1 Kg kami gembungkan, pangkalnya kami ikat sedemikian rupa dengan karet pada sejulur ranting lurus. Dengan alat sederhana itu, buatan kami sendiri, kami mengendap bak kucing mengintai mangsa.

Sedapat mungkin mengendap dari belakang sang capung, agar gerak mengendap kami tak terlihat. Tak hanya itu, kami juga harus memperhitungkan arah bayangan kami, bayangan bisa mengusik kenyamanan capung. Belum lagi, harus memperhitungkan kekuatan dan arah angin bertiup, selain mengusik capung, angin juga mampu merusak gembung plastik kami. Begitu tertangkap senang rasanya. Sungguh susah bukan?.

Hampir enam tahun, lereng gunung itu tak kujamah. Merantau dan mengadu nasib ke Yogyakarta membuatku lama tak pulang kampung. Pantang pulang sebelum sukses, itu alasanku. Tak sekedar alasan, ia adalah sumpah. Sumpah yang diamini oleh banyak perantau Bugis. Dilereng gunung Aje Angnyarang ini terhampar padang savana, tempat ternak kami bermain dan mencari makan. Tempat bercanda bersama para gembala lainnya. Juga tempat para kupu-kupu dan capung itu memamerkan gerak lincah dan keindahan warnanya.

Anjelina Jooli, pesohor Holywood itu. Namanya sangat akrab bagi anak-anak disini, dikampung halamanku. Namanya selalu di identikkan dengan capung. Capung dalam bahasa ibuku, adalah Joli-joli. Nama Bugis untuk serangga unik bersayap ganda ini, ia mirip helikopter. Kepalanya besar, badan pun besar, tapi ekornya lentik. Model dan warnanya beragam, ada superbesar dengan warna hijau berlurik, merah menyala, hingga hitam legam. Khusus untuk si hitam legam ini, waktu itu tak ada dari kami yang berani menangkapnya. Namanya menakutkan, joli-joli setang (capung setang). Berani menangkapnya, alamat tidur kita akan dihantuinya. Begitulah orang tua kami menceritakan dan menakut-nakuti kami.

Adapula yang berukurang sedang, ini yang paling sering kami jumpai dan sering kami tangkap. Namun warnanya lebih dominan hijau. Yang ukurang kecil juga ada, namanya joli-joli jarung (Capung Jarum). Mungkin karena bentuk fisiknya yang ramping, sebesar jarum jahit, maka ia disemati nama itu. Variasi warnanya lebih menarik, ada kuning, putih, hijau, merah dan ungu, atau kombinasi dari beberapa warna, dengan motif lurik.

Sayang, tak jarang keasikan kami menangkap sang capung, sering kali sirna karena orang tua kami. Ditengah keasikan kami,  panggilan bernada perintah orang tua memaksa kami segera berhenti. Disuruh makan, mandi, tidur atau pergi mengaji, itu pembenaran orang tua kami untuk menghentikan keasyikan kami. Jika tidak, maka kami ditakuti-takuti. “Ayo anak-anak, berhenti menangkap joli-joli itu, nanti  kamu joli’-joli’”. “Anak-anak, ayo berhenti menangkap Capung itu, nanti kamu bisa mencret”, begitu kalimat sakti para orang tua kami. Lucunya, kami menurut dan betul-betul takut dengan peringatan tersebut. Meski kami tak pernah mencoba untuk membuktikannya.

Kata joli-joli (senada dengan kata Jali-jali) memang memiliki fonem dengan kata joli’-joli’ (senada dengan kata Kali’ orang betawi). Menangkap capung sesungguhnya adalah permainan, bagi kami. Tetapi bagi masyarakat Bugis dan lingkungan adat Bugis. Capung tak sekedar hewan kecil yang tak berdaya. Ia adalah simbol kesuburan, simbol kemakmuran. Tak ada capung yang berkeliaran di padang savana kami, itu berarti rumput di padang itu sudah tak segar dan sehat lagi untuk pakan ternak. Belakangan, setelah kami dewasa, baru kami sadari. Ternyata, mitos-mitos ini sengaja ditanamkan orang tua kami, demi menjaga kelestarian sang Capung. Juga keseimbangan ekosistem alam, antara rumput, capung, ternak dan manusia.

Kata orang tua kami, boleh menangkap capung, tapi tidak untuk dipelihara. Maka setelah ditangkap, segeralah bebaskan kembali. Sebelum dibebaskan, ada ritual khusus yang harus kami lakukan. Masing-masing capung yang kami tangkap kami arahkan untuk menggigit pusar kami. Inilah bentuk permintaan maaf kami pada sang capung, karena sempat kami tangkap. Konon, dengan digigitnya pusar kami oleh sang capung, kutukan mencret itu hilang dengan sendirinya. Berani coba?

1 comment for "CAPUNG, ANGELINA JOOLI DAN KUTUKAN MENCRET"

  1. tapi... lain padang lain belalang, lain daerah lain kebiasaannya. kalo capung disebut di tempat ta disebut Joli-joli, di kampungku di namakan GANTOLLE.
    barangkali nama olah raga paralayang yg namanya gantolle itu berasal dari bahasa bugis bone...heheheh.
    dan kebiasaan menangkap Gantolle (capung) di daerahta juga sedikit berbeda bahkan sangat berbeda. kalo kita menggunakan plastik gula itu juga biasa kita lakukan tapi untuk capung kecil dan untuk menangkap capung yang besar kami menggunakan cara yang unik dan sedikit sangat tidak ber"prikebinatangan".... coba bayangkan kami menangkap capung yang kecil lalu kami tusuk dengan lidi kecilpada bagian perutnya, setelah itu kami jadikan sebagai umpan untuk menangkap capung yg besa... biasanya sambil menyodorkan capung yang kami tusuk itu kami sering bersenandung bunyinya begini " gantolle'...gantolle' anre-anre ana'mu, gantolle-gantolle' macenning na malunra gantolle-gantolle" dan ternyata perangkap itu berhasil dan saat capung besar menangkap mangsanya dia tidak akan melepaskannya. setelah besar kami sadar bahwa manusia sebagian memang kejam kalo kami waktu kecil sampai hati menjadikan Gantolle menjadi Umpan gantolle besar sekarang manusia menjadikan manusia sebagai umpan dengan mengorbankannya dengan berbagai cara demi sebuah tujuan mendapatkan hasil yang lebih banya bedanya kalo gantolle kami menyanyi2 tapi kalo umpannhya manusia semua tutup mulut...

    ReplyDelete