Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

“ CLOSE UP “ MENGHENTIKAN TANGISAN BALITA

Saya sudah lupa kapan tepatnya tulisan ini saya buat, setidaknya kisaran tahun 2003 hingga 2004. Diangkat dari cerita nyata dengan taburan bumbu cerita ala kadarnya, tulisan ini dulunya saya ikutkan Lomba Cipta Cerita Iklan Close-Up Planet, tak tahu seperti apa hasil lomba itu. Filenya sudah hilang entah dimana, tapi salinan cetakannya rupanya masih ada dan terselip diantara kertas-kertas sarat memoriku.

“ CLOSE UP “ MENGHENTIKAN TANGISAN BALITA


“Kak jadi berangkat yah”, suara adik sepupuku Ani, yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

“Yoi, ini juga lagi nunggu travelnya”, jawabku

“Sory yah kak gak ngasih bekal nih, tapi ini buah kesukaanmu kubawain” sambungya

Sebuah jambu biji bangkok diapungkan di udara. Memang dari kecil saya paling doyan makan jambu biji yang ranum.

“Thanks, Manizt!” seruku

Tanpa kesulitan jambu biji sebesar dua kepalan tangan orang dewasa itu sudah kuraup dengan lahap. Inilah untungnya kalau punya gigi fit dan kaut. Makan jambu bijipun tak perlu pake pisau segala.

Tiba-tiba, suara klakson mobil terdengar berulang dari ujung jalan.

“Kak, travelnya dah datang”, seru Rani.

Keluargaku yang sedari tadi nongkrong di teras pun bergegas ke ujung jalan. Satu dua orang diantara mereka rela hati mengangkat tas dan barang bawaanku. Asik.

“Suruh nunggu bentar yah!” teriakku, seraya berlari ke kamar mandi baut sikat gigi. Berusaha menyegarkan kembali aroma mulutku.


**** 

Tiba di ambang pintu kendaraan travel, seolah kompakan si kecil Upik dan Firdan menangis “meroeng-roeng”. Dua adik sepupuku dari ibu yang berbeda ini memang dekat denganku, terutama selama dua minggu selama saya menghabiskan liburan di kampung halaman tercinta.

“Din, adikmu digendong dululah biar tangisnya berhenti” ujar bibiku. Permintaan yang berarti perintah bagiku.

Dalam sekejap dua adik sepupuku itu berpindah di dekapanku, Upik dengan tangan kanan dan Firdan dengan tangan kiri. Cukup ringan, karena keduanya belum cukup berumur 2 tahun.

Sedih juga harus meninggalkan mereka dengan segala kelucuannya. Tapi, tuntutan pekerjaanku di Yogyakarta tentu tak bisa kuabaikan.

“Pak bentar yah” pintaku pada pak sopir travel, seraya berusaha meredakan tangis adikku. Saya kehabisan akal untuk meredakan tangisnya.

Entah dapat ilham dari mana. Masih dalam gendongan, kucoba sedikit berlari sambil menggendong mereka dan tiba-tiba saya berhenti mendadak lalu berteriak “Yaaaa” di depan wajah mereka. Akhirnya tangis mereka mereda, setelah kuulang tiga kali tangis itu berganti tawa khas anak kecil.

Seolah dikomando, si Upik dengan gerakannya yang lumayan aktif dibanding adiknya Firdan berusaha memukul mulutku dengan tangan mungil serta senyum dan tawa riangnya. Upik seolah ingin berkata “Kak, gigimu putih dan nafas kakak juga segar”

Upik dan Firdan telah riang kembali, saya cium bibir mereka satu persatu lalu saya kembalikan ke ibunya masing-masing. Sebelum pintu mobil ditutup saya masih sempat mengecup kening dua adikku ini.


**** 

“Rani, thanks yah jambu bijinya” Itulah kata terakhirku. 

Mobil travelpun melaju membelah kota Sengkang, selanjutnya menuju Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Malam ini saya akan melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta dengan penerbangan terakhir.

Disana, di bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Seorang gadis asal parahiyangan telah menantiku, menanti dengan senyum khas close-upnya. Senyum yang selalu kurindu, senyum yang juga kumiliki saat ini.

Dialah kekasih hatiku yang pertama kali memperkenalkan Close Up padaku dua tahun lalu, saat cinta kami saling bertepuk dua tangan.

Post a Comment for "“ CLOSE UP “ MENGHENTIKAN TANGISAN BALITA"