Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TREND BISNIS : Tenun Troso

Kian maraknya perkembangan mode etnik di Yogyakarta akhir-akhir ini membawa kabar gembira kain tenun dari Garut, Klaten dan Jepara. Kecenderungan para desainer dan masyarakat memakai kain tenun sebagai bahan dasar untuk busana mereka pada akirnya membuka kembali peluang pasar kain tenun di Yogyakarta, setelah “tiarap” sejak badai krisis ekonomi 1998 lalu. Cocoknya kain tenun untuk iklim tropis Indonesia menjadi salah satu alasan masyarakat memilih kain tenun dibanding kain tekstil pabrikan. Selain itu tekture dan motif kain tenun yang bersifat “limeted edition” dan diproduksi dengan peralatan Alat Tenung Bukan Mesin (ATBM). Dengan ATBM ini kain tenun memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh kain tekstil pabrikan yang diproduksi massal dengan motif yang seragam.

Kain tenun produksi kampung Troso, Jepara mendapat tempat tersendiri di Yogyakarta. Motif, warna, kualitas dan kerapian hasil tenun menjadikan kain asal bumi Kartini ini menjadi buruan para desainer. Keunggulan lain yang dimiliki kain tenun Jepara adalah variasi kain, tersedia dari kain katun, seser polos, seser pelangi, sutera viskos, bahkan kain sutera kelas 25.000 hingga 3.000.000 per meter juga tersedia. Salah satu pengusaha kain tenun Jepara yang telah lama menjadi pemasok di Yogyakarta adalah Bapak H. Sofwan Sukri. Bapak kelahiran Jepara 1951 ini telah menukeni bisnis ini sejak 1989, sejak itu pula ia memasarkan hasil tenunannya di Yogyakarta. Baik di toko-toko tekstil besar hingga pasar tradisional Bringharjo. Karena faktor usia, kakek dari 5 cucu ini memilih mengalihkan usaha memasok di kota Yogyakarta ini pada anak dan kemanakannya. Ia sendiri memilih menetap di Denpasar Bali seraya merintis dan membesar usaha pasokan kainnya di Pulau Dewata tersebut.

Mempekerjakan sedikitnya 15 karyawan penenun dan 2 karyawan bagian logistik, Pak Kaji (panggilan akrabnya) menceritkan, masa jaya usaha ini dinikmatinya antara tahun 1992 hingga 1999 saat itu perbulannya ia bisa meraih omzet diatas 200.000.000. Namun sejak tahun 2000 bisnisnya mengalami penurunan. Jika dulunya bisa mengoperasikan setidaknya 30 perangkat tenun, kini paling tinggi hanya 15 perangkat.

Seperangkat alat tenun membutuhkan modal sekitar 3.700.000 juta untuk bahan baku hingga pengolahan awal, ditambah biaya tenaga kerja 1 Jt per alat tenun. Masing-masing alat mampu menghasilkan minimal 405 meter kain. Kain selanjutnya dijual dengan harga bervariasi. Jika harga kain (contoh kain seser polos) rata-rata 30.000 maka keuntungan mencapai 3.400.000. Setelah dikurangi biaya operasional lainnya, Pak Kaji minimal mendapatkan keuntungan 37.500.000 juta dari 15 alat tenunnya.

Melihat ketatnya persaingan kain tenun di Yogyakarta dengan masuknya kain tenun palsu yang mirip dengan kain tenun asli, maka Pak Kaji mulai melirik kota lain. Dengan merek A.Z Fin yang merupakan singkatan dari nama salah satu puteranya, kini Pak Kaji lebih fokus memasarkan kain tenunnya ke Pulau Bali. Di Yogyakarta hanya untuk melayani pelanggannya yang kebanyakan adalah desainer dan toko butik. Selain itu, demi menyasar pasar dan pembeli baru, ia juga mulai memproduksi taplak meja dan hiasan dinding dari kain atau kombinasi antara tenun ikat dan lidi daun kelapa. 

Jika selama ini Jepara di kenal dengan kota ukir, hal ini tidak berlaku di Desa Troso. Semua penduduk desa tersebut bergerak di bidang tenun. Anda berminat?. Desa Troso berada di wilayah Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Sekitar 6-7 jam dari Yogyakarta, bisa ditempuh dengan jasa Travel yang langsung ke tempat tujuan, atau dengan naik bis umum dari Yogyakarta, turun di terminal Terboyo Semarang, selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Jepara dengan mini bis. Turun depan Masjid Walisongo Pecangaan, selanjutnya gunakan jasa ojek, cukup 7 menit anda tiba di lokasi.

FOTO :
http://jepara.sitekno.com 

Post a Comment for "TREND BISNIS : Tenun Troso"