Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sarung Samarinda 2 : Sejarah Sarung Samarinda Bugis

Sejarah masuknya suku Bugis dan sarung Samarinda ke Kalimantan Timur

DR. Priyanti Gunardi
Program Studi Biologi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
(Alamat tetap: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)



Tenun sarung Samarinda sejatinya dibawa oleh orang-orang Bugis yang menempati suatu daerah di Samarinda Seberang sekitar abad ke-18. Hal tersebut ditandai dengan kedatangan suku Bugis ke tanah Kutai yang menurut lontara atau silsilah kedatangan suku Bugis, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1665. Pada saat itu terjadi kerusuhan di bumi Sulawesi . Kerusuhan terjadi pada saat berlangsungnya pernikahan antara putera kerajaan Goa dengan puteri Sultan Bone. Putera-putera bangsawan Bone berkelahi dengan putera-putera bangsawan Wajo. Pada pergelaran pesta pernikahan tersebut diadakan juga acara sabung ayam dan pada saat tersebut terjadi peristiwa penikaman terhadap bangsawan tinggi Kerajaan Bone hingga tewas di tangan putera bangsawan Wajo yang bernama La Ma Dukellang. Para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bone tidak terima kenyataan tersebut lalu terjadilah peperangan di antara mereka. Karena peperangan tidak seimbang antara pihak La Ma Dukellang dengan orang-orang dari kerajaan Bone, La Ma Dukellang beserta tiga putranya, delapan orang bangsawan Wajo ditambah 200 pengiring pergi meninggalkan tanah Bugis dengan menggunakan 14 perahu layar menuju tanah Kutai (Anonim, 2008 a).

Setelah beberapa lama berlayar mereka kehabisan perbekalan dan berlabuh di daerah Pasir kemudian mereka menetap di sana untuk sekian lamanya. Kabar tentang diterimanya rombongan La Ma Dukellang dengan baik oleh pihak Kerajaan Pasir sampai juga ke telinga orang-orang di tanah Bugis. Kemudian orang-orang Wajo dan Sopeng yang tidak tahan terhadap perlakuan para penjajah dari Kerajaan Bone berusaha mengikuti jejak La Ma Dukellang. Rombongan orang Bugis dalam jumlah besar dalam waktu yang berurutan tiba di tanah Pasir. Hal tersebut menyebabkan daerah yang diberikan oleh Kerajaan Pasir untuk mereka huni terasa semakin sempit dan tidak nyaman lagi. Pada suatu hari diadakan musyawarah besar untuk mencari daerah lain yang lebih luas untuk tempat tinggal mereka. Hasil musyawarah memutuskan untuk mengirim rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona pergi ke Kerajaan Kutai (Anonim, 2008 a).

Setibanya di daerah Kerajaan Kutai, Lamohang Daeng Mangkona lalu menghadap ke Pangeran Dipati Mojo Kusumo yang pada saat itu memerintah Kerajaan Kutai. Lamohang Daeng Mangkona lalu menceritakan maksud kedatangannya ke daerah tersebut. Pangeran Dipati Mojo Kusumo menyambut baik maksud kedatangan Lamohang Daeng Mangkona lalu Pangeran memberi sebidang tanah di daerah Loa Buah. Beberapa waktu kemudian, rombongan tersebut dipindahkan ke daerah lain dengan diberi sebidang tanah di wilayah Samarinda Seberang yaitu suatu daerah dataran rendah yang cocok untuk usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan. Semenjak itu Samarinda Seberang dibangun oleh Lamohang Daeng Mangkona beserta pengikutnya kemudian ia pun diberi gelar Pua Ado. Daerah ini pula yang menjadi cikal bakal berdirinya kota Samarinda (Anonim, 2008 a; Yuhardin, 2010).

Samarinda berasal dari kata samarendah karena orang-orang Bugis yang bermukim di wilayah Kerajaan Kutai tersebut telah menghilangkan strata sosial antara bangsawan dan rakyat biasa yang dahulu digunakan ketika mereka bermukim di tanah Bugis. Ucapan samarendah dalam dialek Bugis terasa sulit dilakukan oleh warganya sehingga pelafalannya berubah menjadi samarinda (Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda).

Selama orang-orang Bugis bermukim di tempat yang baru, demi memenuhi kebutuhan hidupnya para kaum lelaki bekerja di ladang atau menjadi nelayan sedangkan kaum perempuannya lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan diwaktu senggangnya - sambil menunggu kepulangan suaminya dari ladang atau sungai - mereka meneruskan keterampilan yang diperoleh dari leluhurnya yaitu menenun. Kegiatan menenun didominasi oleh kaum perempuan karena hal tersebut - menurut kepercayaan masyarakat Bugis - tabu dilakukan oleh para lelaki. Kaum perempuan dari kelompok etnis Makasar, Bone, Mandar dan Toraja yang tinggal di Samarinda Seberang sebenarnya juga memiliki keterampilan menenun seperti perempuan-perempuan Bugis Wajo namun kaum perempuan etnis Bugis Wajo lebih dahulu dan lebih banyak yang berprofesi sebagai penenun di bumi Etam (Samarinda) dibandingkan kelompok Bugis lainnya.

Kain sarung hasil tenunan tersebut umumnya terbuat dari rangkaian benang sutera yang pada awalnya ditenun untuk memenuhi kebutuhan sandang keluarga mereka sendiri. Seiring berkembangnya waktu, kelompok masyarakat lainnya yang juga hidup berdampingan dengan suku tersebut melihat keindahan warna dan motif dari sarung yang dikenakannya lalu mulailah terjadi peningkatan permintaan terhadap sarung tersebut.

Sarung Samarinda selain sebagai salah satu hasil budaya suku Bugis Wajo yang dibawa dari tanah asalnya kemudian dikembangkan sebagai usaha keluarga atau home industry yang pada saat kini terkenal sampai mancanegara sebagai hasil budaya khas dari daerah Kalimantan timur (Anonim, 2008 a).

Post a Comment for "Sarung Samarinda 2 : Sejarah Sarung Samarinda Bugis"