Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sarung Samarinda 7 : Kegunaan Sarung Samarinda


Kegunaan Sarung Samarinda
DR. Priyanti Gunardi
Program Studi Biologi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
(Alamat tetap: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)


Sarung pada umumnya dapat digunakan untuk beberapa keperluan seperti beribadah atau sholat, selimut tatkala udara dingin, alas ayunan anak balita, berbagai upacara adat serta ritualitas hubungan suami isteri. Sarung yang terbuat dari sutera tidak diperkenankan di dalam Islam untuk digunakan oleh para lelaki untuk melaksanakan sholat tetapi bagi kaum perempuan diperbolehkan menggunakan kain sutera sebagai busananya baik untuk pakaian sehari-hari, pesta maupun untuk beribadah sholat.


Sarung Samarinda dengan motif dan warna yang menawan sering kali digunakan pada berbagai upacara adat seperti pernikahan (mappabotting), tujuh bulanan (mappasili), naik ayun (mappenre tojang), dan kematian (ammateang) (Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda; Komunikasi pribadi dengan Suryadin Laoddang – budayawan Bugis di Yogyakarta). Motif siparappe dan sari pengantin berdasarkan kesepakatan bersama antara tetua adat dengan anggota masyarakat telah ditetapkan untuk digunakan pada upacara pernikahan.

Motif siparappe juga digunakan oleh pasangan lelaki dan perempuan yang sudah menikah. Pada dahulu kala motif siparappe yang sama dengan motif moppang pada sarung Bugis wajib ditenun oleh si gadis itu sendiri dan wajib digunakan pada saat memadu kasih di tempat peraduannya. Saat ini para pasangan suami istri tidak lagi menggunakan sarung pada saat melakukan ritualitas persenggamaan, mereka dapat menggantinya dengan selimut atau kain lebar lainnya. Motif sari pengantin hanya boleh digunakan oleh seorang lelaki yang telah mengucapkan ijab kabul atau telah melakukan akad nikah (Anonim, 2008 b; Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda; Komunikasi pribadi dengan Suryadin Laoddang – budayawan Bugis di Yogyakarta).
Upacara adat tujuh bulanan dalam bahasa Bugis Bone disebut mappasili yang berarti memandikan. Upacara mappasili ini bermakna sebagai tolak bala atau mengusir roh-roh jahat hingga segala sesuatu yang merugikan hilang atau lenyap dari seorang perempuan yang sedang mengandung calon anak manusia. Pada upacara adat ini pasangan suami istri menggunakan pakaian adat Bugis yang pada umumnya untuk pakaian bagian bawahnya mengenakan sarung (Zein, 2011). Motif sarung yang wajib digunakan pada upacara adat tersebut belum diketahui hingga tulisan ini dibuat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Sarung Samarinda yang digunakan pada upacara naik ayun (mappenre tojang) dan kematian (ammateang) belum diketahui motif mana yang wajib dikenakan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahuinya.
Di tanah leluhur orang-orang Bugis, terdapat satu jenis sarung tak bermotif yang dinamakan tapii atau sunre yang pada pinggiran sarung ditambahi lepe atau pinggiran sarung yang ditenun khusus. Sarung ini memiliki ukuran yang lebih panjang dan lebar dibandingkan ukuran sarung yang normal. Sarung tersebut hanya boleh dipakai pada upacara adat pernikahan, sunatan (masunna), pindah rumah (lele bola), dan proses naiknya bayi ke ayunan untuk pertama kalinya (mappenre tojang) (Komunikasi pribadi dengan Suryadin Laoddang – budayawan Bugis di Yogyakarta).

Post a Comment for "Sarung Samarinda 7 : Kegunaan Sarung Samarinda"