Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sarung Samarinda 4 : Motif Sarung Samarinda


Motif sarung Samarinda

DR. Priyanti Gunardi
Program Studi Biologi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
(Alamat tetap: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)


Beberapa motif sarung Samarinda yang dibuat oleh para penenun adalah lebba suasa, jepa-jepa kamummu (hattama hassara, belang hatta), anyam palupuh tabba, asepulu’ bolong, rawa-rawa masak, coka manippi, billa takkajo, garanso, burica, siparape, kudara, sobbi, pucuk (Maulana, 1982), Soekarno, Soeharto, dan sari pengantin (Anonim, 2008 b). Motif-motif sarung tersebut didominasi oleh warna hitam, putih, merah, hijau, ungu, biru laut, dan hijau daun (Maulana, 1982).

Berikut adalah deskripsi dari masing-masing motif sarung Samarinda. Lebba suasa berasal dari kata lebba (kotak besar) dan suasa yang berarti berdampingan. Motif ini berupa selembar kain berwarna hitam dan putih, kedua warna tersebut berselang-seling mirip dengan kain Bali membentuk kotak-kotak besar. Warna merah mengapit pada ujung kain (atas dan bawah) (Maulana, 1982; Komunikasi pribadi dengan Asmad Riyadi Lamellongeng – budayawan Bugis Bone di Ciputat, Tangerang; Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda; Komunikasi pribadi dengan Suryadin Laoddang – budayawan Bugis di Yogyakarta). Motif kain ini sekarang tidak diproduksi lagi (Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda). Penyebab tidak diproduksinya motif tersebut perlu pengkajian lebih lanjut.

Jepa-jepa kamummu atau hattama hassara atau belang hatta (Gambar 4a) adalah kain sarung yang didominasi dengan warna merah keunguan. Motif ini pada awalnya berakar dari kata kamummu yang dalam bahasa Indonesia berarti ungu. Motif dengan bentuk kotak-kotak berukuran sedang yang diapit dengan persegi panjang hitam dan dilintasi garis merah, ungu, dan hitam. Jepa-jepa kamummu kemudian berubah nama menjadi hattama hassara yang berarti hitam-merah. Hattama hassara pun kini lebih terkenal dengan nama belang hatta. Pemberian nama belang hatta adalah untuk menghormati bung Hatta yang pada saat perlawatannya ke ibukota Kalimantan Timur diberikan kenang-kenangan berupa sarung Samarinda oleh RUMI (Rukun Wanita Indonesia). Beliau menerima dengan senang hati cinderamata tersebut (Maulana, 1982).

Anyam palupuh tabba (Gambar 4b) yang diambil dari kata palupuh atau tabba yang berarti anyaman bambu. Motif sarung ini memang menyerupai anyaman dinding bambu. Bentuk kotak-kotak besar dan kecil menghiasi motif anyam palupuh ini. Dua garis tebal berwarna hijau yang pada sisi luar garis diliris garis tipis berwarna putih (Maulana, 1982; Rayans, 2009).

Assepulu bolong (Gambar 4c) berasal dari kata pulu atau pulut yang berarti ketan hitam. Pada awalnya kain ini murni berwarna hitam tanpa kombinasi.

Beberapa kurun waktu kemudian terdapat beberapa kombinasi benang emas/perak/merah/hijau yang disisipkan melalui proses tenunan agar motif lebih terlihat bercahaya, benang tersebut sebagai pemanis semata. Bentuk kotak-kotak yang menghiasi kain berukuran kecil (Maulana, 1982; Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda; Komunikasi pribadi dengan Suryadin Laoddang – budayawan Bugis di Yogyakarta).

Rawa-rawa masak adalah motif dengan kotak-kotak kecil berwarna merah muda atau lembayung seperti halnya buah jambu air yang masak. Rawa-rawa berasal dari bahasa Kutai yang berarti jambu air. Motif ini didominasi oleh warna merah dengan beberapa warna hitam yang muncul secara tipis dan tidak beraturan (Maulana, 1982; Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda; Komunikasi pribadi dengan Suryadin Laoddang – budayawan Bugis di Yogyakarta).

Coka manippi berakar dari kata manippi yang berarti ditaklukkan mimpi. Motif sarung ini diilhami oleh mimpi seorang puteri bangsawan Kerajaan Kutai. Pada zaman Kerajaan Kutai hiduplah seorang puteri bangsawan yang pada malam hari bermimpi melihat kain tenunan dengan motif kotak-kotak berukuran sedang dan kecil dengan kombinasi warna yang sangat indah. Keindahan sarung dalam impian si puteri terpatri kuat dalam memorinya. Ketika terbangun dari tidurnya, puteri bangsawan tersebut segera memanggil tukang tenun langganannya dan menceritakan mimpinya tentang sarung tersebut. Puteri meminta kepada tukang tenunnya untuk menenunkan kain seperti yang ada dalam mimpinya. Beberapa hari kemudian si tukang tenun menemui puteri bangsawan tersebut sambil membawa kain hasil tenunan. Puteri sangat bersuka cita dan sangat takjub melihat buah karya si tukang tenun. Ia pun lalu memakai dan memamerkannya kepada teman-teman, kaum kerabat serta kekasihnya. Semua yang melihat kain sarung tersebut terpana oleh keindahannya yang tiada tara (Maulana, 1982).



Gambar 4. Contoh motif sarung Samarinda. a. Motif jepa-jepa kamummu (hattama hassara atau belang hatta (Sumber: Rayans, 2009) . b. Motif anyam palupuh (Sumber: Rayans, 2009). c. Motif asepulu bolong (Priyanti, 2011). d. Motif sari pengantin (Sumber: Anonim, 2009).


Billa takkajo berarti cahaya kilat. Motif dengan kotak-kotak berukuran kecil yang didominasi oleh warna merah dan biru yang diliris dengan warna putih (Maulana, 1982; Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda; Komunikasi pribadi dengan Suryadin Laoddang – budayawan Bugis di Yogyakarta).

Garanso berarti galak atau garang. Kain sarung ini didominasi oleh warna hitam dan biru tua yang muncul secara berselang-seling seperti motif lebba suasa. Di antara kotak-kotak hitam dan biru tua diselingi dengan warna lain seperti abu-abu (Maulana, 1982; Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda; Komunikasi pribadi dengan Suryadin Laoddang – budayawan Bugis di Yogyakarta).

Burica berasal dari kata merica atau sahang. Motif burica berupa kotak-kotak berukuran sangat kecil sebesar butir-butir merica (Maulana, 1982; Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda).

Siparappe berarti merapat atau berkasih sayang. Motif sarung ini sama dengan motif moppang pada sarung Bugis. Sarung berkotak-kotak kecil dengan empat larik garis sejajar dan melintang (dua garis tipis selebar jari telunjuk akan mengapit dua buah garis besar setebal lima lebar jari telunjuk pria dewasa). Dari jauh garis-garis ini seolah berhadapan dalam posisi moppang (tengkurap) sehingga muncullah istilah lain dari motif ini yaitu sioppangeng (saling berhadapan). Satu jari tadi adalah symbol dari parewa alu-alunna (alat kelamin lelaki) sedangkan lima jari adalah simbol lima lapis pelindung rahim perempuan (jempa-jempa, kulit tubuh, mulut vagina, selaput darah vagina, dan mulut rahim sendiri) (Laoddang, 2011; Maulana, 1982; Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda).


Motif siparappe ini dibuat oleh seorang gadis yang akan meninggalkan masa lajangnya. Ukuran motif ini dua kali lipat dari ukuran sarung biasa karena akan dipakai bersama suaminya setelah terucap janji setia untuk menempuh kehidupan yang baru. Sarung ini tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain dan harus disimpan di tempat yang tersembunyi dan tidak boleh diwariskan. Sarung dengan motif ini juga tidak boleh dijemur karena sarung tersebut menyimpan suatu rahasia antara pasangan suami istri. Saat ini motif sarung tersebut sudah jarang ditemukan (Laoddang, 2011; Maulana, 1982; Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda).

Kudara berarti negara, motif sarung yang dihadiahi oleh RUMI kepada Presiden pertama RI ketika melakukan kunjungan ke kota Samarinda. Motif ini kemudian terkenal dengan nama Soekarno (Anonim, 2008 b). Motif dengan kotak-kotak kecil seperti siparappe hanya berbeda warnanya (Maulana, 1982; Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda).

Motif-motif modern yang sekarang bermunculan diantaranya adalah sobbi, pucuk, Soeharto, dan sari pengantin (Anonim, 2008 b; Maulana, 1982; Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda).

Sobbi dan pucuk adalah motif sarung yang sudah mengalami modifikasi dengan warna beranekaragam dan dilengkapi dengan selendang. Sarung dengan motif tersebut diperuntukkan khusus untuk perempuan (Maulana, 1982; Komunikasi pribadi dengan Nor Sidin – pemerhati sejarah dan budaya Bugis di Samarinda).

Soeharto adalah motif modern berupa kotak-kotak kecil berwarna hijau dan ungu muda dengan bagian tengahnya berwarna putih. Motif ini diberi nama demikian karena ketika Presiden kedua RI berkunjung ke Samarinda sering kali membeli kain bermotif demikian (Anonim, 2008 b).

Sari pengantin adalah motif modern dengan kotak-kotak kecil yang didominasi oleh warna merah dan biru yang berselang-seling di bagian watang atau tubuh sarung sedangkan warna merah menyala atau cella raka mendominasi bagian kapalanna (Anonim, 2008 b).

Post a Comment for "Sarung Samarinda 4 : Motif Sarung Samarinda"