Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Identitas Makassar : Sebuah Pendekatan Arkeologis (bagian 6)

A. Mitologi

To Manurung, Dewata SeuwwaE, Tau Tenrita pada unsur sistem religi. Sebuah mitologi yang meyakini adanya sosok berkemampuan khusus dari lapisan langit ketujuh, yang diturunkan kemuka bumi dari. Masyarakat Bugis-Makassar juga meyakini adanya Tuhan Yang Maha Tunggal yang nama-nama sebagai berikut, Patoto’E, (dewa penentu nasib), Dewata Seuwa’E, (dewa tunggal), Turie A’rana, (kehendak tertinggi).


B. Agama dan Kepercayaan


Masyarakat Bugis-Makassar menganggap bahwa budaya (adat) itu keramat. Bahkan lebih dari itu, adat telah dijadikan junjungan. Masyarakat Bugis Wajo misalnya memiliki semboyan “Maradeka To WajoE ade’nami napopuang”, yang secara harafiah berarti orang Wajo itu berjiwa Merdeka dan hanya adatlah yang dipertuan. Budaya (adat) tersebut didasarkan atas lima unsur pokok panngaderreng (aturan adat yang keramat dan sakral), yaitu sebagai berikut. Ade (Adat), Bicara (Kesepakatan), Rapang(Contoh), Wari’(Tata Cara), Sara’(Syariat).


C. Ekonomi : Laut dan darat, urat nadi kehidupan Makassar


Mata pencaharian masyarakat Bugis-Makassar yaitu pertanian (lontara allaorumang), pelayaran, dan perdagangan. Pada bidang-bidang tersebut masyarakat Bugis Makassar juga memiliki kemampuan abbingtangeng (ilmu astronomi) ade allopi-loping (ilmu pelayaran), kutika (sistem penanggalan), sennu-sennukeng (membaca firasat dan isyarat alam). Selanjutnya ilmu abbingtangeng dan ade allopi-loping diatas, sekaligus menjadi bagian dari sistem mata pencaharian masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri. Mereka juga telah mewarisi hukum niaga, berupa Ade’allopiloping Bicaranna Pabbalue, mahakarya La Patello Amanagappa yang ditulis pada abad ke-17, menyebutkan sambil berlayar mereka berdagang di pulau-pulau di Indonesia.


Terkait dengan unsur sistem mata pencaharian tadi, ade allopi-loping (ilmu pelayaran), pada akhirnya membentuk prilaku dan menuntun mereka untuk menciptakan perahu, alat dan sistem navigasi. Begitupula peralatan menangkap ikan dan hasil laut lainnya yang kemudian dikenal dengan istilah akkajangeng (segala hal yang berkaitan dengan profesi, perlengkapan dan ritual nelayan). Istilah akkajangeng, selalu diikuti dengan istilah allopi-loping, yang lebih menitik beratkan pada perlengkapan, bagian, tehnik membuat, merawat dan ritual terhadap sebuah perahu (lopi).


D. Kekerabatan : Sistem kemasyarakatan


Setiap kali muncul diskusi dengan topik kekerabatan, maka hubungan darah dalam artian perkawinan selalu menjadi objek bahasan. Begitupula dengan kekerabatan pada masyarakat Makassar, bagi masyarakat Makassar Perkawinan yang ideal di Makassar sebagai berikut; Assialang Marola adalah perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu baik dari pihak ayah/ibu. Lalu Assialang Memang adalah perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua baik dari pihak ayah/ibu. Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan anak dengan ayah/ibu dan menantu dengan mertua.

Sesungguhnya ruang lingkup kekerabatan tidaklah dapat dibatasi hanya dalam hubungan perkawinan. Kekerabatan juga merangkul hubungan individu dengan masyarakat sekitarnya, inilah dasar untuk membentuk sebuah tatanan kehidupan bermasyarakat. Sistem kekerabatan merupakan salah satu pranata sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ummat manusia.


Dalam masyarakat Makassar, nilai-nilai kekerabatan tersusun dalam falsafah Sipakatau (saling menghargai), Sipakalebbi (saling menghormati), Sipakainge (saling mengingatkan). Keberadaan nilai kekerabatan tidak menghendaki masyarakat dihinggapi sikap acuh ketika mendapati saudaranya di “persimpangan jalan”. Tidak acuh terhadap nasib tetangga sekitar sebagia efek dari bangunan yang kita bangun, meksi itu dilahan sendiri. Tidak acuh terhadap lingkungan, misalnya dengan menebang pohon yang berada dalam lahan kita, tanpa pernah memikirkan nasib anak-anak kecil yang menjadikan pohon itu sebagai tempat bermain mereka. Tidak acuh terhadap norma yang berlaku dan telah menjadi pegangan masyarakat disebuah kelompok, misalnya dengan membangun pusat hiburan di daerah yang sebelumnya adalah kompleks pendidikan.


E. Seni : Aroma lokal, cita rasa Eropa

E.1. Rumah adat suku Makassar

Rumah adat Makassar berupa panggung yang terdiri atas tiga bagian, yakni Kalle balla, untuk tamu, tidur, dan makan. Pammakkang, untuk menyimpan pusaka dan Passiringang untuk menyimpan alat pertanian. Rumah panggung ini dibuat dengan bahan baku utama kayu, tidak menggunakan paku atau tali pengikat sebagai penguat, melainkan menggunakan tehnologi kancingan antara tiang-tiang rumah dengan salur baloknya.


Masing-masing rumah memiliki dua buah tangga yang juga terbuat dari kayu, satu tangga terletak dibagian depan rumah dan satu lagi dibagian belakang. Dari motif dan bentuk segitiga wuwungan (bagian atap) rumah orang Makassar, strata dan derajat sosial mereka bisa dikenali.


E.2 Pakaian adat

Pakaian adat khas perempuan Makassar adalah baju bodo sebagai atasan dan lipa sabbe (sarung sutera) dengan warna mencolok sebagai bawahan. Baju bodo berupa baju kurung yang terbuat dari bahan kain muslin, tanpa lengan dengan warna mencolok pula seperti merah hati, biru, dan hijau, kuning, ungu dan putih. Pemakaian dan pemilihan warna disesuaikan dengan starata sosial dan status perkawinan pemakainya.


Kain Muslin adalah kain tenunberbahsan kapas dan benang katun, dengan rongga dan kerapatan yang renggang menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk daerah tropis dan daerah beriklim kering [1] . Kain moslen sebagai bahan utama baju bodo ini sekali lagi menjadi bukti keterbukaan orang Makassar terhadap dunia dan budaya luar. Kain moslen sendiri adalah jenis kain yang banyak menjadi bahan untuk pakaian kebesaran kaum perempuan Eropa.


Sementara kaum pria menggunakan baju kurung berbahan kain satin atau jas tutup sebagai atasan serta sarung sutera sebagai bawahan ditambah sabuk (pabbekkeng) bertabur payet dan manik sebagai hiasan untuk membebat pinggang, tepatnya pada pertemuan sarung dan jas. Dibalik sabuk inilah biasanya terselip sebilah kawali (badik) yang merupakan senjata khas Makassar dan sekaligus identitas mereka. Songkok recca, adalah ciri khas orang Makassar pula, sebuah songkok hasil anyaman dari serat pelepah pohon enau.


E.3 Aksara

Tidak hanya memiliki bahasa sendiri, suku Makassar juga memiliki aksara tersendiri, yakni aksara sulapa appa atau lebih akrab disebut aksara Lontara’. Disebut aksara lontara karena huruf ini banyak digunakan untuk merekam berbagai catatan ikhwal serajah lainnya diatas daun Lontar yang dalam bahasa lokal setempat disebut Lontara’. Sementara sebutan aksara sulapa appa yang secara harafiah berarti persegi empat, ini merujuk pada bentuk huruf tersebut yang memang cenderung berbentuk pola segi empat. Aksara sulapa appa ini sendiri merupakan generasi ketiga dalam aksara lontara’ setelah aksara bilang-bilang dan jangang-jangang.


Menyusul aksara lontaraq dan bahasa Makassar, tarian, cule-cule (permainan rakyat), elong kelong (nyayian), pada unsur bahasa dan kesenian.


E.4 Tanjidor dan Keroncong


Bagi mereka yang pertama kali menyaksikan acara pernikahan adat Makassar, dapat dipastikan mereka akan kaget mendapati irama musik tanjidor pada saat mengantarkan arak-arakan calon mempelai pria. Tanjidor sendiri selama ini banyak dikenal sebagai musik khas Betawi. Hadirnya musik tanjidor di Makassar tidak terlepas dari proses asimilasi budaya Makassar sebagai kota Maritim sejak dahulu, dimana banyak pendatang yang datang silih berganti bahkan diberi ruang untuk tumbuh dan membuka pemukiman di Makassar lengkap dengan budaya dan tradisi yang melekat pada diri mereka, termasuk suku Betawi itu sendiri.



Selain itu, adapula musik keroncong yang di Indonesia lebih banyak diketemui di Pulau Jawa. Sesungguhnya, perkembangan musik keroncong di Indonesia tidak bisa melupakan sejarah keroncong itu sendiri di Makassar. Keroncong adalah jenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan buruh kapal niaga Portugis sejak abad ke-16 ke Nusantara. Di Makassar sendiri ditemukan keroncong khas Makassar yang disebut musiq losquin Bugis. Jenis musik ini dapat ditemui dalam lagu Ongkona Arumpone yang dinyanyikan oleh Sukaenah B. Salamaki.


Keroncong khas Makassar ini dimainkan tanpa suling, biola dan cello, tapi dengan melodi gitar yang kental, mirip Tjoh de Fretes dari Ambon. Selaian Losquin Bugis, ditemukan pula orkes keroncong khas Indonesia seperti Orkes Keroncong Cafrino Tugu (Kr. Pasar Gambir) – Orkes Keroncong Lief Java (Kr. Kali Brantas) – Losquin Bugis (Ongkona Arumpone) – Orkes Hawaian Tjoh de Fretes (Pulau Ambon) [2]


Selain bentuk kesenian beraroma Eropa tersebut, Makassar juga kaya dengan kesenian tradisional baik sebagai bentuk pertunjukan, atraksi atau prosesi adat. Diantaranya nyanyian Sinriliq dan Massureq (seni membaca kitab lontaraq), kacaping (musik dan nyanyian dengan alat musik tradisional kecapi. Angngaru (Ritual sumpah setia prajurit), Marraga (Jugling bola takrow), Pepe-pepe (atraksi kekebalan dan permainan). Pakkanjara (Aubade penghormatan). Dalam bentuk tarian di Makassar juga memiliki beberapa tarian tradisional diantaranya, Pakarena, Anging Mammiri, Pakkuru Sumanga’.

___________________________________________


[1] Laoddang, Suryadin., Baju Tokko, Sejarah, Aturan dan Kontroversinya, http://www.suryadinlaoddang.com/2010/04/baju-tokko-sejarah-aturan-dan.html, diakses pada 15 Oktober 2011

[2] Sunaryo Joyopuspito, 2006, Musik Keroncong: Suatu Analisis Berdasarkan Teori Musik, Bina Musik Remaja – Jakarta.

Post a Comment for "Identitas Makassar : Sebuah Pendekatan Arkeologis (bagian 6)"