Mengenal Identitas Makassar; Yuk Mengenal Orang Makassar (Bagian 1)
Yuk Mengenal Orang Makassar
“ bukan karakter keras orang Sulsel yang salah. Bukan pula aksi demontrasi mahasiswa itu yang dikeluhkan. Malah, keberanian mahasiswa Makassar dalam mengawal kebijakan pemerintah mendapat acungan jempol.
(Jusuf Kalla, Fajar 11 Juli 2010)
Mengutarakan identitas Makassar jauh lebih sulit daripada mengutarakan identitas Bugis. Meski kedua suku ini masih satu rumpun dan memiliki banyak persamaan. Setidaknya ada tiga alasan kenapa identitas Makassar lebih susah diidentifikasi dibanding identitas Bugis.
Pertama, penuturan identitas yang ada selama ini lebih cenderung pada pendekatan tampilan fisik semata, kadang hanya terbatas pada unsur pendukung identitas fisik itu malah. Orang Makassar secara fisik diidentikkan dengan Songkok Pamiring dan Badik untuk pria Makassar atau Baju Bodo dan Sarung Sutera untuk kaum perempuan Makassar. Kesulitan yang mengemuka adalah tidak adanya kelanggengan benda-benda pendukung identitas tersebut. Baju bodo misalnya yang sudah dikenal sejak tahun 1930-an[1] kini telah mengalami pergeseran drastis. Baik dari bentuk, fungsi dan aturan pemakaian. Pada awalnya, baju bodo adalah baju kurung polos tanpa tempelan payet, sulaman dan bordir, pemilihan warna masing-masing pemakai berdasarkan jenjang usia pemakianya. Kini baju bodo telah mengalami modifikasi sedemikian rupa, hingga lebih menyerupai pakai kaum Gipsy. Kini siapapun dapat menggunakan baju bodo berdasarkan selera masing-masing.
Kini makin banyak ditemui baju bodo yang disemati asesori seperti bordir, sulam dan payet. Ketidak langgenan ini juga terjadi pada arsitektur rumah adat Makassar, balla lompoa. Saat ini sangat susah menemukan rumah adat sebagai rumah tinggal di tengah kota Makassar, yang ada adalah hamparan bangunan beton dan “hutan ruko” (rumah toko). Ironisnya bangunan baru ini ternyata tidak pula mengadopsi unsur-unsur atau simbol-simbol entnik Makassar. Hal ini membuktikan bahwa identitas tidak kuat jika hanya dibaca secara kasat mata, secara artifisial. Memang, rentang waktu dan pengaruh budaya luar bisa membuat identitas artifisal tersebut berkembang. Namun, bisa juga membuatnya bergeser bahkan lenyap. Hal ini berarti di jaman kontenporer ini, identitas fisik tidaklah dapat dijadikan patokan untuk merujuk pada identitas sebuah suku, termasuk suku Makassar.
Kedua, identitas Makassar tidak pula dapat hanya dilihat dari faktor nilai semangat (spirit) yang dipegang dijalankan orang Makassar, jika pandangan ini yang dipakai maka pandangan tersebut akan terasa berat mengingat semangat itu sendiri sifatnya abstrak. Hanya para sejarahwan, budayawan, psikolog-lah yang mampu melihat dan mendeskripisikan identitas ini. Masyarakat awam akan kesusahan, padahal pada unsur inilah esensi dan eksistensi Makassar dapat ditemukan dan dirasakan. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka dalam penelitian ini kedua unsur akan diuraikan sebagai sebuah kesatuan utuh dan saling melengkapi.
Ketiga, literatur atau sumber rujukan tertulis tengang Makassar sangatlah terbatas. Berbeda dengan suku Bugis yang masih satu rumpun dengan suku Makassar. Literatur Makassar sangatlah terbatas, baik itu yang berbahasa Indonesia ataupun berbahasa Makassar sendiri.
[1] Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Nalar: Jakarta, Halaman 272
================
Baca Juga : Artikel sambungannya di : Orang Makassar, Manusia Perasa yang Dicap Kasar
“ bukan karakter keras orang Sulsel yang salah. Bukan pula aksi demontrasi mahasiswa itu yang dikeluhkan. Malah, keberanian mahasiswa Makassar dalam mengawal kebijakan pemerintah mendapat acungan jempol.
(Jusuf Kalla, Fajar 11 Juli 2010)
Mengutarakan identitas Makassar jauh lebih sulit daripada mengutarakan identitas Bugis. Meski kedua suku ini masih satu rumpun dan memiliki banyak persamaan. Setidaknya ada tiga alasan kenapa identitas Makassar lebih susah diidentifikasi dibanding identitas Bugis.
Pertama, penuturan identitas yang ada selama ini lebih cenderung pada pendekatan tampilan fisik semata, kadang hanya terbatas pada unsur pendukung identitas fisik itu malah. Orang Makassar secara fisik diidentikkan dengan Songkok Pamiring dan Badik untuk pria Makassar atau Baju Bodo dan Sarung Sutera untuk kaum perempuan Makassar. Kesulitan yang mengemuka adalah tidak adanya kelanggengan benda-benda pendukung identitas tersebut. Baju bodo misalnya yang sudah dikenal sejak tahun 1930-an[1] kini telah mengalami pergeseran drastis. Baik dari bentuk, fungsi dan aturan pemakaian. Pada awalnya, baju bodo adalah baju kurung polos tanpa tempelan payet, sulaman dan bordir, pemilihan warna masing-masing pemakai berdasarkan jenjang usia pemakianya. Kini baju bodo telah mengalami modifikasi sedemikian rupa, hingga lebih menyerupai pakai kaum Gipsy. Kini siapapun dapat menggunakan baju bodo berdasarkan selera masing-masing.
Kini makin banyak ditemui baju bodo yang disemati asesori seperti bordir, sulam dan payet. Ketidak langgenan ini juga terjadi pada arsitektur rumah adat Makassar, balla lompoa. Saat ini sangat susah menemukan rumah adat sebagai rumah tinggal di tengah kota Makassar, yang ada adalah hamparan bangunan beton dan “hutan ruko” (rumah toko). Ironisnya bangunan baru ini ternyata tidak pula mengadopsi unsur-unsur atau simbol-simbol entnik Makassar. Hal ini membuktikan bahwa identitas tidak kuat jika hanya dibaca secara kasat mata, secara artifisial. Memang, rentang waktu dan pengaruh budaya luar bisa membuat identitas artifisal tersebut berkembang. Namun, bisa juga membuatnya bergeser bahkan lenyap. Hal ini berarti di jaman kontenporer ini, identitas fisik tidaklah dapat dijadikan patokan untuk merujuk pada identitas sebuah suku, termasuk suku Makassar.
Kedua, identitas Makassar tidak pula dapat hanya dilihat dari faktor nilai semangat (spirit) yang dipegang dijalankan orang Makassar, jika pandangan ini yang dipakai maka pandangan tersebut akan terasa berat mengingat semangat itu sendiri sifatnya abstrak. Hanya para sejarahwan, budayawan, psikolog-lah yang mampu melihat dan mendeskripisikan identitas ini. Masyarakat awam akan kesusahan, padahal pada unsur inilah esensi dan eksistensi Makassar dapat ditemukan dan dirasakan. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka dalam penelitian ini kedua unsur akan diuraikan sebagai sebuah kesatuan utuh dan saling melengkapi.
Ketiga, literatur atau sumber rujukan tertulis tengang Makassar sangatlah terbatas. Berbeda dengan suku Bugis yang masih satu rumpun dengan suku Makassar. Literatur Makassar sangatlah terbatas, baik itu yang berbahasa Indonesia ataupun berbahasa Makassar sendiri.
[1] Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Nalar: Jakarta, Halaman 272
================
Baca Juga : Artikel sambungannya di : Orang Makassar, Manusia Perasa yang Dicap Kasar
Post a Comment for "Mengenal Identitas Makassar; Yuk Mengenal Orang Makassar (Bagian 1)"